A.
Mikrosporum canis
Biasanya kucing tampak alopecia ( kehilangan rambut ) pada muka
dan rambut. Kadang-kadang sembuh spontan. Sedangkan lesi-lesi pada anjing
tampak nyata, jelas, terbatas (circumscribed),
tertutup sisik-sisik dan punting-puntung rambut yang putus (hairstub) atau tanpa sisik dan tanpa
rambut sama sekali
M.
canis tumbuh sangat cepat, kadang-kadang 48
jam pertumbuhan sudah kelihatan. Koloni tumbuh berwarna putih, seperti kapas (cottony), dengan pigmen bright yellow
pada pertumbuhan perifer dengan bagian balik kuning terang. Koloni dapat juga fluffy
dan wooly, kadang-kadang chalky sampai granuler. Perifer ada ekstensi radial
dengan tepi kuning. Macroconidia dihasilkan banyak dengan ukuran yang besar,
berdinding tebal dan kasar, multiseptat, berbentuk bulat, oval atau seperti
buah pear atau kumparan dengan permukaan yang sandy. (Jones, 1957)
B.
Mikrosporum nanum
Menyerang pada babi. Gejala klinis
berupa lesi-lesi penampakan merah ( redcast) dan ditutupi dengan selaput atau
keropeng superficial coklat. Selaput-selaput prominen pada perifer lesi-lesi
membentuk pita prominen lebar 2.5 cm. Kulit agak kasar pada daerah infeksi
atnpa alopecia yang nyata atau kegatalan (prunitis). M. nanum adalah zoophilic. Di bawah wood’s lamp tidak tampak
fluoresensi, atau kalau adapun sangat lemah. Koloni mula-mula putih, seperti
kapas atau wol dengan bawah berwarna oranye sampai coklat kekuning-kuningan.
Semakin tua koloni mereka menjadi granuler dengan tepi kuning ( a buff
periphery ) dengan balik merah mawar. Secara histology, gambaran menciri berupa
makrokonidia yang banyak dan kecil, berbentuk gada, elips, ber sel dua,
terpotong pada ujung atau truncated, berdinding tipis, kasar berduri. (Subronto,
1985)
C.
Trichophyton gallinae
Fungi mensekresikan keratinase,
elastase dan kolagenase. Enzim – enzim ini membantu menyediakan nutrisi dengan
mendigesti jaringan hospes. Hal ini mampu mengakibatkan reaksi peradangan di
titik infeksi. Perubahan klinis dimulai dengan eritema, kemudian diikuti dengan
eksudasi, panas setempat dan terjadinya alopecia. Karena jamur tidak tahan
hidup dalam suasana radang, jamur berusaha meluas kepinggir lesi, hingga
akhirnya terbentuk lesi yang klasik berupa lesi yang bulat atau sirkuler,
dengan bagian tengahnya mengalami kesembuhan. Apabila jamur bertumbuh pada
kulit yang memiliki selaput keratin yang tebal dan jauh dari jaringan vaskuler,
secara teoritis ringworm akan bersifat kronik. Secara teoritis juga, apabila
tubuh cukup mampu melawan ringworm dengan pembentukan radang yang berlebih,
jamur akan mati dan akan menghasilkan kesembuhan sempurna. (Quinn, 2002)
D. Coccidioides immitis
Coccidioides
immitis adalah suatu jamur. Biasanya terdapat
di tanah, sehingga disebut jamur tanah. Jamur ini bersifat endemik dan dapat menyebabkan
koksidioidomikosis. Infeksi yang ditimbulkan jamur ini biasanya dapat sembuh sendiri
tetapi juga dapat mematikan. Jamur jenis ini juga dikenal sebagai jamur dimorfik
karena jamur ini mempunyai daya adaptasi morfologik yang unik terhadap pertumbuhan
dalam jaringan atau pertumbuhan pada 37°C. Coccidioides immitis bentuknya
seperti bola (sferul) yang garis tengahnya 15 - 60μm, dengan dinding tebal
berbias ganda. Hifa dari jamur ini juga mudah pecah dan mengeluarkan spora. Spora
yang dihasilkan inilah yang nantinya berpengaruh pada proses infeksinya. Infeksi
oleh jamur ini biasanya meliputi influenza, demam, lesu, batuk, dan adanya rasa
sakit di seluruh tubuh. Gejala – gejala inilah yang biasanya disebut “Valley fever”
dan biasanya gejala ini dapat seolah – olah sembuh sendiri yang dikenal dengan
infeksi primer dan hanya dibutuhkan pengobatan suportif atau dapat juga kronik.
Koksidioidomikosis yang menyebar ini dapat disamakan dengan tuberkolosis. (Jones, 1957)
E.
Sporotrichum
schenckii
F.
Aspergillus sp.
Aspergilosis pada unggas terutama
disebabkan oleh Aspergillus fumigatus
dan Aspergillus flavus. Organisme
lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab aspergilosis adalah A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A.
niger, A. amstelodami dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus tidak memiliki
stadium seksual sehinga digolongkan pada famili Moniliaceae (Tabbu, 2000).
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah
ditemukan saat kondisi lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain
itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu
tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin. Jamur yang tumbuh pada
ransum dan bahan baku ransum dapat dengan mudah dimatikan, namun tidak demikian
dengan racun jamur yang terbentuk. Racun itu sangat sulit untuk dihilangkan. (Jones, 1957)
Racun jamur yang terkonsumsi oleh ayam biasanya tidak
langsung dikeluarkan dari tubuh, namun akan terakumulasi dan saat kadarnya
telah mencapai titik tertentu (batas normal) maka ayam akan mulai menunjukkan
gejala. Salah satunya ialah melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam atau sering
disebut imunosupresi. Imunosupresi yang disebabkan oleh mikotoksin bersifat
kronis. Namun jika konsentrasi tinggi akan bersifat akut. Imunosupresi
merupakan gejala awal saat kadar mikotoksin relatif rendah, selanjutnya terjadi
gangguan metabolisme, timbul gejala klinis dan akhirnya timbul kematian. (Jones, 1957)
G. Candida albicans
Genus
Candida terdiri dari 200 spesies lebih. Candida
albicans, spesies yang sering dihubungkan dengan penyakit pada hewan, tidak
mempunyai stadium seksual. Spesies ini dapat tumbuh secara aerobik pada
temperatur 37 0C pada media umum termasuk
Sabouraud Dextrose Agar. Koloni terdiri sel kecambah berbentuk oval dengan
ukuran 5.0 x 8.0 μm. Pada jaringan hewan, C. albicans dapat menunjukkan
polimorfisme dalam bentuk pseudohifa atau hifa. Pada media tertentu, secara
spesifik spesies ini memproduksi chlamydospore (chlamydoconidia). Koloninya yaitu berwarna putih,
terang dan cembung, dengan diameter 4 sampai 5 mm setelah inkubasi selama 3
hari. (Jones, 1957)
Candida albicans, khamir yang berperan dalam
penyakit pada hewan, memiliki beberapa factor virulensi. Organisme ini
mempunyai permukaan molekul yang mirip integrin yang dapat menyebabkan adhesi
pada protein matriks. Sebagai tambahan, permukaan struktur dapat mengikat
fibrinogen dan komponen komplemen. Produksi protease dan fosfolipase dapat
membantu invasi jaringan. Fenotipik switching, telah ditunjukkan pada pada C. albicans, yang dapat memfasilitasi
evasi pada mekanisme pertahanan hospes. (Jones, 1957)
Pada
stadium awal infeksi, mekanisme penghilangan oleh proses fagositik
mengeliminasi sel khamir. Sel-sel tersebut merupakan sel yang belum jelas
berubah menjadi bentuk hifa. Fosfolipase, yang terkonsentrasi pada ujung hifa, dapat
meningkatkan tingkat invasi. Bentuk mukokutaneus yang terlokalisir pada
penyakit candidiasis dihubungkan pertumbuhan yang cepat dari C. albicans flora normal pada rongga
mulut atau gastrointestinal dan saluran urogenital. Faktor predisposisi
termasuk kerusakan pada imunitas cell-mediated, penyakit yang terjadi saat itu,
gangguan flora normal akibat obat antimicroba dan kerusakan mukosa akibat
handling kateter yang buruk. Mukosa yang terinfeksi menjadi tebal dan kadang
hiperemis. Penyebaran lewat aliran darah dapat terjadi akibat invasi vaskuler
oleh hifa atau pseudohifa, menghasilkan infeksi sistemik. (Jones, 1957)
II.
Aspergillosis
(Etiologi, Gejala Klinik, Pathogenesis, Cara Diagnosa, dan Terapi)
A. Etiologi
Aspergilosis pada unggas terutama
disebabkan oleh Aspergillus fumigatus
dan Aspergillus flavus. Organisme
lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab aspergilosis adalah A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A.
niger, A. amstelodami dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus tidak memiliki
stadium seksual sehinga digolongkan pada famili Moniliaceae. (Tabbu, 2000). A.
fumigatus merupakan penyebab infeksi terbanyak dimana > 90% menyebabkan
invansif dan non-invansif Aspergillosis. A.
flavus menyebabkan invansif Aspergillosis sebanyak 10% sedangkan A. niger dan A. terreus sebanyak 2%. Penularan aspergilosis adalah dengan cara
menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini dapat juga ditularkan
melalui telur, karena Aspergillus fumigatus
dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Organisme
itu dapat juga tumbuh di antara kerabang dan bagian luar selaput telur,
sehingga anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena Aspergillosis.
(Tabbu, 2000)
B. Gejala
Klinik
Masa inkubasi Aspergillosis sekitar 4-10 hari dan
proses penyakit dapat berlangsung sekitar 2 sampai beberapa minggu. Ada 2
bentuk :
1. Bentuk
Akut
Gejala yang terlihat meliputi
dyspnoea, bernapa melalui mulut dengan leher dijulurkan ke atas, peningkatan
frekuensi pernapasan, kehilangan nafsu makan, mengantuk dan pada kejadian yang
jarang terlihat adanya paralisi dan kejang akibat toksin yang telah mencapai
otak. Jika aspergillosis diikuti chronic
respiratory disease, infectious bronchitis, infectious laryngotracheitis,
maka akan terdengar suara ngorok yang basah, jika gangguan pernapasan hanya
disebabkan Aspergillosis maka tidak akan terdengar suara ngorok yang terlihat
hanya kesulitan bernapas yang kering. Bentuk ensefalitik sering ditemukan pada
kalkun. Ayam terinfeksi berat biasanya mati dalam 2 – 4 minggu. Mortalitas
biasanya sekitar 5% - 20% tetapi kadang dapat mencapai 50%. (Tabbu, 2000)
2. Bentuk
Kronis
Gejala yang terlihat adalah
hilangnya nafsu makan, lesu, bernapas dengan mulut, emasiasi, sianosis, dan
dapat berlanjut dengan kematian. Dapat ditemui gangguan saraf pusat. Lamanya
proses tergantung pada umur dan daya tahan tubuh ayam, proses dapat berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Mortalitas kurang dari 5%. (Tabbu, 2000)
C. Pathogenesis
Konidia Aspergillus terhirup,
karena ukurannya yang sangat kecil dan mudah terbawa angin. Konidia masuk ke
dalam rongga hidung yang didalamnya terdapat mukosillia. Mukosilia tidak dapat
menyaring konidia, karena ukura konidia yang kecil dan tahan terhadap suhu
tinggi.. Konidia terus masuk ke dalam saluran pernafasan, dan mencapai distal
alveolar serta melakukan perlekatan untuk merusak epithelium. Konidia bertambah
besar ukurannya di alveoli dan mulai untuk germinasi. Cairan seperti lektin
berperan dalam menangkap konidia pada paru - paru, yang kemudian difagosit oleh
makrofag alveolar. Makrofag alveolar juga berperan dalam memblok germinasi Aspergillus. Namun, konidia memiliki
pertahanan dalam melawan makrofag, antara lain sebagai berikut :
a)
Aspergillus
mengandung melanin sebagai pembungkus conidiospora sehingga tidak dapat
difagosit oleh sel makrofag alveolar.
b)
SOD di lapisan luar
untuk melindungi conidiospora agar tidak rusak.
c)
Aspergillus
menghasilkan enzim elaktase dan fosfolifase yang membuat jaringan paru – paru
menjadi nekrosis.
d)
Apergillus
fumigatus menghasilkan metabolit sekunder antara
lain penicillin, mikotoxin, dan hypha fragment. Mikotoksin antara lain :
fumigaclavins, fumagilin, fumigatin, fumitoxins, fumitremorgin A & C,
gliotoxin, spinulosin, tryptoquivalins, verrucologen. Dan gliotoxin berperan menurunkan
fungsi makrofag dan neutrofil.
Hifa menyebar ke seluruh parenkim paru – paru dan
pembuluh darah sehingga menimbulkan hemorrhage dan nekrosis. Adanya nekrosis
memicu datangnya neutrofil yang berusaha untuk memblok hifa. Peristiwa ini
dapat memicu supurasi. (Barness & Marr, 2006)
D. Cara
Diagnosa
Diagnosa
didasarkan dari kombinasi gejala klinis, symptom, culture, histopatologi, dan
deteksi komponen fungi seperti antigen galactomannan. Mengamati perubahan
secara patologis dan patohistologis. Contoh: Pemeriksaan histopatologik
menimbulkan bahwa C. immitis tumbuh
pada jaringan inang akan membentuk sel raksasa, berdinding tebal dan berisi
banyak endospora. Selain pada jaringan, sel raksasa ini juga dapat ditemukan
pada lesio purulenta, dan sumsum tulang belakang. Gambaran ini dapat disimpan
untuk kepentingan diagnostika. (Pramono, 1988)
Diagnosa
Laboratorik :
a)
Penggunaan Wood’s light (UV
terfilter) untuk pemeriksaan lesi di ruang gelap. Fungi seperti genus Microsporum, mampu berflouresence di
bawah sinar UV.
b)
Identifikasi fungi dengan
metode kerok kulit, rambut dan kuku terinfeksi (Quinn, 2002)
c)
Pemeriksaan
histologik atas bagian kulit yang mengalami radang minimal akan menunjukkan
hiperkeratosis yang bersifat moderat dari epidernis folikel, adanya akantosis
serta reaksi radang perifolikuler yang bersifat minimal serta infiltrasi sel–sel
mononuklear. Bagian –bagian jamur selau ditemukan apabila sedian diwarnai dengan pewarnaan
asam peryodat Schiff (PAS) atau perak methenamin. Selain yang disebutkan, ditemukan ulserasi
epidermis yang diisi oleh keropeng–keropeng hasil peradangan. Dinding folikel
rambut yang terserang akan berisikan sel–sel PMN dan mononuklear, limfosit, plasma sel dan
histiosit. Pada bagian yang mengalami peradangan intensif, fragmen jamur tidak akan dapat dijumpai. (Jones, 1957)
E. Terapi
Amphotericin dan itraconazole
adalah standar treatment untuk Aspergillosis. Voriconazole diketahui lebih
efektif dibandingkan amphotericin B, karena pasien memiliki ketahanan yang
lebih baik dan sedikit efek toksik. Echinocandins menghambat sintesis dinding
sel beta-glucan. Terdapat bukti bahwa terapi ganda untuk Aspergillosis dengan
echinocandins lebih baik dibandingkan single terapi, contoh lain adalah
gabungan pemakaian caspofungin dan voriconazole untuk pasien yang menderita
gagal ginjal. Lama terapi untuk Aspergillosis belum diketahui. Pada praktiknya
pasien ditreatment hingga imunosuppresionnya berkurang, biasanya selama
beberapa bulan tergantung kondisi pasien. Penggunaan dari granulcyte macrophage
colony-stimulating factor dapat meningkatkan jumlah neutrofil dan membantu
membersihka Aspergilus sp. Operasi
pada beberapa kasus immunosupresi merupakan pilihan yang berisiko tinggi. Pada
sedikit pasien, operasi merupakan pilihan terapi, yang telah ditingkatkan
teknik operasi yang invansive. Resection dari lesi terisolasi tampaknya penting
pada pasien yang memiliki lesi dekat pembuluh darah besar. (Barnes & Marr,
2006)
III. Respon
Imun Terhadap Aspergillosis
Respon imun seluler merupakan
mediator utama perlawanan terhadap infeksi jamur. Mediator utama sistem imun
melawan jamur adalah makrofag dan neutrofil. Dari sistem imun, sel TCD4+
dan CD8+ bekerja sama untuk menghilangkan jamur. Dari subset TCD4+,
respon sel Th1 merupakan respon protektif, karena sel Th1 berperan mengaktifkan
makrofag, sedangkan respon Th2 merugikan pejamu karena menghambat
(downregulation) aktivitas makrofag, untuk mencegah reaksi berlebihan yang
dapat berakibat kerusakan sel. CD8+
berperan mensekresikan IFN-γ yang diperlukan untuk mengaktifkan
makrofag. Tidak heran bahwa inflamasi granulomatosa sering merupakan penyebab
kerusakan jaringan pejamu yang terinfeksi jamur intraseluler. (Kresno, 2010)
Infeksi kulit dapat membatasi diri
dan biasanya sembuh dengan menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya.
Resistensi berasal dari reaksi hipersensitivitas tipe IV yang ditunjukan
penderita terhadap jamur bersangkutan. Selain itu, resistensi juga dapat
disebabkan oleh sel T yang memproduksi limfokin untuk mengaktifkan makrofag
mengahancurkan jamur bersangkutan. Kulit dan paru – paru mempunyai mekanisme
pertahanan fagositik. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan konidia Aspergillus sp. sedangkan PMN leukosit
dan monosit dapat merusak hifa Aspergillus
sp. melalui mekanisme oxidative dan non oxidative. Makrofag dan neutrofil
merupakan mekanisme pertahanan paru – paru terhadap Aspergillus sp. Keratin dan barrier epidermis kulit juga merupakan
mekanisme pertahanan terhadap Aspergillus
sp. (Kresno, 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, Penelope D., Kieren A. Marr. 2006.
Aspergillosis : Spectrum of Disease, Diagnosis, and Treatment. Infectious isease Clinics of North America
Vol. 20 : 545 – 561.
Jones, Thomas
C., Ronald D.H., Norval W.K. 1957. Veterinary
Pathology. Philadelphia : Lea & Febiger.
Kresno,
Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis
dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I . Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Tabbu, Charles Rangga. 2000. Penyakit
Ayam dan Penanggulangannya Volume 1. Yogyakarta : Kanisius
Quinn,P. 2002. Veterinary Microbilogy and Microbial Disease.
Dubli : Blacwell Science.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar