A. Pengertian
Tumor
Tumor atau neoplasma adalah suatu masa abnormal dari
sel – sel yang mengalami proliferasi. Sel neoplasma berasal dari sel yang
sebelumnya normal, pertumbuhan sel neoplastik biasanya progresif, tidak
mencapai keseimbangan dan mengakibatkan epnambahan masa yang memiliki sifat
yang sama. (Bijanti et al, 2010)
B.
Penyebab Tumor
1)
Berhentinya produksi dari sel-sel jaringan .
2)
Rusaknya sel normal sehingga tidak dapat berfungsi normal.
3) Gen p53 berhenti mengirimkan tanda agar sel-sel tertentu mati sesuai
waktunya (apoptosis).
4)
Obesitas.
5)
Genetik Lingkungan .
6)
Radiasi sinar matahari.
7)
Zat-zat kimia. (Underwood, 1999)
C.
Macam – Macam Tumor
1.
Klasifikasi Tumor
Berdasarkan Sifat
a)
Tumor Jinak
Tumor jinak tidak invansif dan
tetap terlokalisir, pertumbuhan lambat, histologinya mirip dengan jaringan
asal. Tumor jinak atau benigna berarti ringan atau tidak progresif. Tumor jinak
tidak menembus jaringan sekitarnya atau menyebar ke bagian lain dalam tubuh
(metastasis).. Saat tumor jinak timbul pada epitel atau permukaan mukosa, tumor
akan tumbuh menjauhi permukaan, karena tumor tidak mengadakan invansi, sehingga
sering terbentuk polip yang bentuknya bertangkai atau tonjolan datar,
pertumbuhan non invansif keluar memberikan bentuk lesi eksofitik. Tumor jinak
pada organ solid, khas berbatas tegas, sering dibatasi dengan kapsul jaringan
ikat yang menghambat kemampuan untuk berprilaku ganas. Tumor jinak dapat
menjadi hal serius jika tumor berada pada struktur vital seperti pembuluh darah
atau saraf. (Underwood, 1999)
b)
Tumor Ganas
Tumor ganas disebut maligna yang
berarti buruk atau berpotensi mematiakn dengan karakteristik anaplasia,
invasive, dan metastasis. Tumor ganas tidak berkapsul. Sel tumor ganas memiliki
perubahan bentuk sel yang berkontribusi terhadap cepatnya proliferasi mereka.
Banyak sel ganas juga memiliki kromosom abnormal atau gen berubah, dan
memproduksi protein abnormal. Maligna pada organ yang solid cenderung memiliki
batas yang tidak jelas, kadang – kadang disertai tebaran lembar jaringan
neoplastik ke dalam jaringan normal sekitarnya. Keadaan ini akan memberikan
bentuk permukaan yang mirip kepiting (Latin : cancer) dimana penyakit ini
kemudian diberi nama. Tumor ganas sering terlihat nekrosis sentral karena
berkurangnya perfusi vaskuler. Morbiditas dan mortalitas yang berhubungan
dengan tumor ganas dapat disebabkan oleh tekanan dan penghancuran jaringan
sekitarnya, pembentukan tumor sekunder, kehilangan darah dari permukaan yang
ulserasi, obstruksi aliran, produksi hormon (misal ACTH dan ADH). (Underwood,
1999)
2.
Klasifikasi
Histogenetik
Klasifikasi berdasarkan asal sel,
ditentukan secara histology, derajat kemiripan histology ada jaringan asal
memungkinkan pemberian grading tumor, grade histology sesuai dengan sifat
klinis. Klasifikasi histogenesis meliputi berbagai sub divisi tetapi pembagian
yang luas berdasarkan asal ialah :
a) Berasal
dari sel epitel
b) Berasal
dari jaringan ikat
c) Berasal
dari organ yang limfoud dan hemopoietik. (Underwood, 1999)
I.
Respon Imun Terhadap
Tumor
Heat Shock Protein (HSP) adalah
mediator untuk menyajikan peptide mutan dalam jalur presentasi antigen. HSP
yang dilepaskan oleh sel – sel tumor, mentransfer antigen tumor kepada APC
profesional yang kemudian mengaktivasi limfosit spesifik. Karena telah
diketahui, beberapa jenis tumor kurang mampu memproses dan menyajikan antigen tumor
kepada sel T karena sel – sel tumor tidak mengekspresikan MHC atau hanya
mengekspresikan MHC dalam densitas rendah. Protein mutan yang ditampilkan
bersama MHC kelas I akan dikenal oleh sel T-sitotoksik CD8+.
Beberapa jenis molekul pada
permukaan sel tumor dapat membangkitkan respon antibody. Molekul – molekul itu
tidak selalu membangkitkan repon imun, namun antibody yang bereaksi dengan
antigen tersebut dapat berguna dalam diagnose dan terapi tumor. Antigen tumor
itu disebut tumor associated antigens. Sebagian besar antigen ini tidak
merangsang respon imun karena merupakan self protein, walaupun antibody dapat
mengikat protein tersebut, belum tentu antibody memiliki potensi protektif. (Kresno,
2010)
A. Respon
Imun Seluler
1.
Limfosit T
Sebagian besar sel efektor yang
berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+ yang secara
fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel terinfeksi
virus. CTL dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal dan membunuh sel
potensial ganas yang mengekspresikan peptide yang berasal dari protein seluler
mutant atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh MHC kelas I pada
sel dendritik. Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (tumor
infiltrating lymphocyte = TILs) yang mengandung CTL yang dapat melisiskan sel
tumor. Selain melalui efek sitotoksik dan sitolisis, sel T CD8+
terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel tumor melalui efek sitostatik,
khususya tumor yang bermetastatis.
Pada umumnya sel T CD4+
tidak bersifat sitoksik bagi tumor tetapi sel – sel itu dapat memproduksi
berbagai sitokin yan diperlukan untuk perkembangan sel CTL menjadi sel efektor.
Sel T CD4+ yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF
dan IFN-γ yang dapat meningkatkan ekspresi MHC kelas I dan sensitivitas tumor
terhadap lisis oleh CTL. (Kresno, 2010)
2.
Sel NK
Sel NK adalah sel efektor dengan
sitoksisitas spontan terhadap berbagai jenis sel sasaran, sel efektor, dan
sitotoksisnya tidak bergantung pada MHC. Sel NK dapat berperan baik dalam
respon imun nonspesifik maupun spesifik, dapat diaktivasi secara langsung
melalui pengenalan antigen tumor atau sebagai akibat aktivitas sitokin yang
diproduksi oleh limfosit T spesifik tumor. Mekanisme lisis yang digunakan sama
dengan mekanisme yang digunakan sel T CD8+ untuk membunuh sel tumor. Sel NK dapat
membunuh sel tumor tertentu khususnya tumor hemopoetik. Sel NK tidak dapat
melisiskan sel yang mengekspresikan MHC yang namun dapat melisiskan sel yang
tidak mengekspresikan MHC, yang terhindar oleh
lisis CTL. Sel Nk dapat diarahkan untuk melisiskan sel yang dilapisis
immunoglobulin karena ia memiliki reseptor Fc (FcγRIII atau CD16) untuk molekul
IgG.
Reseptor penting yang dimiliki sel
NK adalah NKG2D yang merupakan glikoprotein transmembran yang diekspresikan
pada permukaan sel tumor sehingga sel tumor senditif untuk dibunuh sel NK. Kemampuan
membunuh oleh sel NK ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi termasuk IFN,
TNF, IL-2, IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktivitas anti tumor bergantung
rangsangan sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin diatas. IFN dapat
meingkatkan fungsi sel NK. IL-2 meningkatkan pertumbuhan sel NK. (Kresno, 2010)
3.
Makrofag
Makrofag yang diaktivasi dapat
melisiskan sel tumor. Makrofag mengekspresikan reseptor Fc-γ dan aktivasinya
dapat diarahkan kepada tumor yang dilapisi antibody. Mekanisme lisis dilakukan
dengan melepaskan enzim lisosom, ROI, dan RNI. Makrofag teraktivasi juga
memproduksi TNF yang merusak sel tumor secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung, terjadi pengikatan TNF pada reseptor permukaan sel tumor. Efek
toksik dapat berlangsung secara apoptosis yang diinduksi oleh Fas-Fasl, atau
dengan disrupsi protein sitoskletal atau melalui pembentukan thrombosis dalam
pembuluh darah sehingga terjadi nekrosis tumor. Secara tidak langsung, yaitu
dengan merusak pembuluh darah dalam tumor.
Namun, makrofag ini berperan ganda.
Makrofag menunjukan fenotipnya yang bersifat anti tumor : fenotip M1. Makrofag
tipe M1 mampu menghasilkan sitokin yang pro inflamasi : TNF-α, IL-1, IL-6,
IL-12 atau IL-23 yang mengekspresikan MHC dalam kadar tinggi, dan membunuh sel
tumor. Tetapi fenotip yang lain, yaitu M2 mampu menekan respon inflamasi dengan
memproduksi sitokin IL-4, IL-10, dan IL-13, serta sitokin – sitokin tersebut
dapat menekan MHC kelas II dan mempromosikan proliferasi sel tumor. (Kresno,
2010)
4.
Sel iNKT
Sel iNKT merupakan subset limfosit
T yang menjembatani imunitas bawaan dengan imunitas yang didapat. Respon imun
oleh sel ini disebut transitional immunity. Sel iNKT menghasilkan fenotip
efektor yang tidak bergantung pada paparan antigen sebelumnya. Sel iNKT dapat
memproduksi sitokin TH1 dan TH2, yang dapat mengaktivasi sel efektor baik sel
efektor sistem imun bawaan maupun didapat. Interaksi antara sel iNKT dengan sel
DC (Dendritic Cell) immature mengakibatkan sel DC mampu mempresentasikan
antigen yang memfasilitasi respon sel CD4+, CD8+,
maupun sel B. Sel iNKT dapat
mengendalikan pertumbuhan tumor dengan cara membatasi atau menghambat fungsi
tumor associated macrophage (TAM) yang berperan menunjang neoangiogenesis dan
pertumbuhan tumor. (Kresno, 2010)
B. Respon
Imun Humoral
Antibodi dapat bersifat spesifik
terhadap sel kanker seperti antibody terhadao EBV. Pembunuhan tumor yang
diperantarai oleh antibody melalui mekanisme ADCC dimana makrofag dan sel NK
yang mengekspresikan reseptor Fc-γ memperantarai pembuuhan atau melalui
aktivitas komplemen. (Kresno, 2010)
a)
Fase Pergerakan : C3a
dan C5a menyebabkan inisiasi khemotaksis (sel PMN yang dominan dalam sirkulasi
menuju ke lokasi infeksi). Selain dari komplemen, faktor khemotatik juga dapat
berasal dari bakteri, neutrofil atau
makrofag.
b)
Fase Perlekatan :
Setelah tiba di lokasi infeksi, PMN melakukan adhesi pada reseptor komplemen (C3b) yang telah menyelimuti sel tumor. C3b mengaktivasi fagositosis oleh PMN (neutrofil dan makrofag)
menyebabkan PMN menelan sel tumor di kompleks antigen-antibodi berikatan.
Proses ini disebut opsonisasi.
c)
Fase Penelanan :
Fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantung yang
mengelilingi antigen dan mengurungnya, bentukan ini disebut fagosom.
d)
Fase Pembunuhan :
Fagosom berfusi dengan lisosom disebut fagolisosom. Enzim – enzim aktif dalam
lisosom seperti lisozym menghancurkan antigen. Selain itu dapat juga terjadi
lisis pada antigen, yaitu oleh kompleks
litik, yang merupakan kombinasi beberapa faktor komplemen : C5b6789 yang memiliki
efek langung terhadap rupturnya membran sel bakteri atau organisme penginvasi
lainnya. (Kresno, 2010)
II.
Mekanisme Spirocerca Lupii
Larva yang bermigrasi
mengakibatkan hemoragi, reaksi inflamasi dan nekrosis, maupun lapisan nanah
atau abses pada jaringan dimana mereka berpenetrasi. Lesi ini pulih segera
setelah larva telah lewat, tetapi penyempitan pembuluh darah dapat terjadi.
Parasit dewasa mengakibatkan tumor pada esofagus, perut dan aorta, yang mana
berisi rongga dan didalamnya terdapat satu atau lebih cacing. Tumor pada
dinding aorta dapat mengakibatkan penyempitan, pembengkakan pembuluh nadi atau
pecahnya pembuluh darah, diikuti hemoragi yang fatal. Tumor pada esofagus atau
perut dapat mengakibatkan penyempitan dan tanda-tanda iritasi. Pada bronkus,
glandula limfatica dan rongga peritoneal dan pleural parasit dapat menyebabkan
banyak gangguan (Monnig, 1950).
Perkembangan neoplasma
terjadi beriringan dengan badan semakin mengurus. Hipertrophic pulmonary
osteoarthropathy dapat dijadikan tanda-tanda akhir dari spiroscercosis. Yang
lebih penting adalah spekulasi bahwa cacing ini dapat menyebabkan tumor ganas
lambung, biasanya osteosarcoma. Cacing dewasa dapat juga menyebabkan degenerasi
neuromuscular esofagus dan fibrosarcoma esofagus (Grifftihs, 1978).
Anjing
sedikit terinfeksi Spirocerca lupii
mungkin tidak menunjukkan tanda penyakit, tanda pada anjing terinfeksi berat
tergantung pada lokasi dari worm dan reaksi diproduksi untuk mereka. Nodul yang
mengandung cacing dapat ditemukan pada aorta, kerongkongan atau di lokasi lain.
Lesi khas di kerongkongan adalah nodul atau serangkaian nodul dengan reaksi,
granulomatosa inflamasi. Fibrosis adalah umum. Massa pedunculated mungkin
menonjol ke lumen, tetapi mereka mengganggu pencernaan hanya jika mereka besar.
Dalam kasus tersebut, muntah persisten dan evenemaciation bisa terjadi. Lesi
khas dalam aorta adalah aneurisma yang mungkin atau tidak mungkin melibatkan
intima tersebut. Lesi ini dapat menyebabkan dispnea atau bahkan pingsan karena
penyumbatan arteri anterior. Mereka mungkin melubangi aorta, pecah dan
menyebabkan perdarahan masif dan kematian mendadak. Jika mereka melibatkan
saraf bronkial, mereka mau menyebabkan gangguan pernapasan, jika mereka
melibatkan sistem nervouse centrall, mereka mungkin causeparaplegia,
kelumpuhan, kejang, dll. (Levine, 1963)
DAFTAR PUSTAKA
Bijanti,
Retno, M. Gandul A.Y., Retno S.W., R. Budi Utomo. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Surabaya : Airlangga University Press.
Griffiths,
H.J. 1978. A Handbook of Veterinary
Parasitology Domestic Animals of North America.. USA : University of
Minnesota Press.
Kresno,
Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis
dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Levine, N.D.1963. Nematoda
Parasites of Domestic Animal and of Man. New York: W.B Sauders.
Monnig,
H.O. 1950. Veterinary Helminthology.
Great Britain : The Williams and Wilkins Company.
Underwod, J.C.E. 1999. Patologi
Umum dan Sistemik. Jakarta : EGC.