Sabtu, 10 Oktober 2015

Tumor

A.       Pengertian Tumor

Tumor atau neoplasma adalah suatu masa abnormal dari sel – sel yang mengalami proliferasi. Sel neoplasma berasal dari sel yang sebelumnya normal, pertumbuhan sel neoplastik biasanya progresif, tidak mencapai keseimbangan dan mengakibatkan epnambahan masa yang memiliki sifat yang sama. (Bijanti et al, 2010)

B.        Penyebab Tumor

1)      Berhentinya produksi dari sel-sel jaringan .
2)      Rusaknya sel normal sehingga tidak dapat berfungsi normal.
3)  Gen p53 berhenti mengirimkan tanda agar sel-sel tertentu mati sesuai waktunya (apoptosis).
4)      Obesitas.
5)      Genetik Lingkungan .
6)      Radiasi sinar matahari.
7)      Zat-zat kimia.  (Underwood, 1999)
C.        Macam – Macam Tumor

1.         Klasifikasi Tumor Berdasarkan Sifat

a)         Tumor Jinak
Tumor jinak tidak invansif dan tetap terlokalisir, pertumbuhan lambat, histologinya mirip dengan jaringan asal. Tumor jinak atau benigna berarti ringan atau tidak progresif. Tumor jinak tidak menembus jaringan sekitarnya atau menyebar ke bagian lain dalam tubuh (metastasis).. Saat tumor jinak timbul pada epitel atau permukaan mukosa, tumor akan tumbuh menjauhi permukaan, karena tumor tidak mengadakan invansi, sehingga sering terbentuk polip yang bentuknya bertangkai atau tonjolan datar, pertumbuhan non invansif keluar memberikan bentuk lesi eksofitik. Tumor jinak pada organ solid, khas berbatas tegas, sering dibatasi dengan kapsul jaringan ikat yang menghambat kemampuan untuk berprilaku ganas. Tumor jinak dapat menjadi hal serius jika tumor berada pada struktur vital seperti pembuluh darah atau saraf. (Underwood, 1999)
b)         Tumor Ganas
Tumor ganas disebut maligna yang berarti buruk atau berpotensi mematiakn dengan karakteristik anaplasia, invasive, dan metastasis. Tumor ganas tidak berkapsul. Sel tumor ganas memiliki perubahan bentuk sel yang berkontribusi terhadap cepatnya proliferasi mereka. Banyak sel ganas juga memiliki kromosom abnormal atau gen berubah, dan memproduksi protein abnormal. Maligna pada organ yang solid cenderung memiliki batas yang tidak jelas, kadang – kadang disertai tebaran lembar jaringan neoplastik ke dalam jaringan normal sekitarnya. Keadaan ini akan memberikan bentuk permukaan yang mirip kepiting (Latin : cancer) dimana penyakit ini kemudian diberi nama. Tumor ganas sering terlihat nekrosis sentral karena berkurangnya perfusi vaskuler. Morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan tumor ganas dapat disebabkan oleh tekanan dan penghancuran jaringan sekitarnya, pembentukan tumor sekunder, kehilangan darah dari permukaan yang ulserasi, obstruksi aliran, produksi hormon (misal ACTH dan ADH). (Underwood, 1999)

2.         Klasifikasi Histogenetik

Klasifikasi berdasarkan asal sel, ditentukan secara histology, derajat kemiripan histology ada jaringan asal memungkinkan pemberian grading tumor, grade histology sesuai dengan sifat klinis. Klasifikasi histogenesis meliputi berbagai sub divisi tetapi pembagian yang luas berdasarkan asal ialah :
a)      Berasal dari sel epitel
b)      Berasal dari jaringan ikat
c)      Berasal dari organ yang limfoud dan hemopoietik. (Underwood, 1999)

       I.          Respon Imun Terhadap Tumor
Heat Shock Protein (HSP) adalah mediator untuk menyajikan peptide mutan dalam jalur presentasi antigen. HSP yang dilepaskan oleh sel – sel tumor, mentransfer antigen tumor kepada APC profesional yang kemudian mengaktivasi limfosit spesifik. Karena telah diketahui, beberapa jenis tumor kurang mampu memproses dan menyajikan antigen tumor kepada sel T karena sel – sel tumor tidak mengekspresikan MHC atau hanya mengekspresikan MHC dalam densitas rendah. Protein mutan yang ditampilkan bersama MHC kelas I akan dikenal oleh sel T-sitotoksik CD8+
Beberapa jenis molekul pada permukaan sel tumor dapat membangkitkan respon antibody. Molekul – molekul itu tidak selalu membangkitkan repon imun, namun antibody yang bereaksi dengan antigen tersebut dapat berguna dalam diagnose dan terapi tumor. Antigen tumor itu disebut tumor associated antigens. Sebagian besar antigen ini tidak merangsang respon imun karena merupakan self protein, walaupun antibody dapat mengikat protein tersebut, belum tentu antibody memiliki potensi protektif. (Kresno, 2010)

A.    Respon Imun Seluler
1.         Limfosit T
Sebagian besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+ yang secara fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel terinfeksi virus. CTL dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal dan membunuh sel potensial ganas yang mengekspresikan peptide yang berasal dari protein seluler mutant atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh MHC kelas I pada sel dendritik. Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (tumor infiltrating lymphocyte = TILs) yang mengandung CTL yang dapat melisiskan sel tumor. Selain melalui efek sitotoksik dan sitolisis, sel T CD8+ terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel tumor melalui efek sitostatik, khususya tumor yang bermetastatis.
Pada umumnya sel T CD4+ tidak bersifat sitoksik bagi tumor tetapi sel – sel itu dapat memproduksi berbagai sitokin yan diperlukan untuk perkembangan sel CTL menjadi sel efektor. Sel T CD4+ yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan IFN-γ yang dapat meningkatkan ekspresi MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL. (Kresno, 2010)

2.         Sel NK

Sel NK adalah sel efektor dengan sitoksisitas spontan terhadap berbagai jenis sel sasaran, sel efektor, dan sitotoksisnya tidak bergantung pada MHC. Sel NK dapat berperan baik dalam respon imun nonspesifik maupun spesifik, dapat diaktivasi secara langsung melalui pengenalan antigen tumor atau sebagai akibat aktivitas sitokin yang diproduksi oleh limfosit T spesifik tumor. Mekanisme lisis yang digunakan sama dengan mekanisme yang digunakan sel T CD8+  untuk membunuh sel tumor. Sel NK dapat membunuh sel tumor tertentu khususnya tumor hemopoetik. Sel NK tidak dapat melisiskan sel yang mengekspresikan MHC yang namun dapat melisiskan sel yang tidak mengekspresikan MHC, yang terhindar oleh  lisis CTL. Sel Nk dapat diarahkan untuk melisiskan sel yang dilapisis immunoglobulin karena ia memiliki reseptor Fc (FcγRIII atau CD16) untuk molekul IgG.
Reseptor penting yang dimiliki sel NK adalah NKG2D yang merupakan glikoprotein transmembran yang diekspresikan pada permukaan sel tumor sehingga sel tumor senditif untuk dibunuh sel NK. Kemampuan membunuh oleh sel NK ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi termasuk IFN, TNF, IL-2, IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktivitas anti tumor bergantung rangsangan sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin diatas. IFN dapat meingkatkan fungsi sel NK. IL-2 meningkatkan pertumbuhan sel NK. (Kresno, 2010)

3.         Makrofag

Makrofag yang diaktivasi dapat melisiskan sel tumor. Makrofag mengekspresikan reseptor Fc-γ dan aktivasinya dapat diarahkan kepada tumor yang dilapisi antibody. Mekanisme lisis dilakukan dengan melepaskan enzim lisosom, ROI, dan RNI. Makrofag teraktivasi juga memproduksi TNF yang merusak sel tumor secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung, terjadi pengikatan TNF pada reseptor permukaan sel tumor. Efek toksik dapat berlangsung secara apoptosis yang diinduksi oleh Fas-Fasl, atau dengan disrupsi protein sitoskletal atau melalui pembentukan thrombosis dalam pembuluh darah sehingga terjadi nekrosis tumor. Secara tidak langsung, yaitu dengan merusak pembuluh darah dalam tumor.
Namun, makrofag ini berperan ganda. Makrofag menunjukan fenotipnya yang bersifat anti tumor : fenotip M1. Makrofag tipe M1 mampu menghasilkan sitokin yang pro inflamasi : TNF-α, IL-1, IL-6, IL-12 atau IL-23 yang mengekspresikan MHC dalam kadar tinggi, dan membunuh sel tumor. Tetapi fenotip yang lain, yaitu M2 mampu menekan respon inflamasi dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-10, dan IL-13, serta sitokin – sitokin tersebut dapat menekan MHC kelas II dan mempromosikan proliferasi sel tumor. (Kresno, 2010)

4.         Sel iNKT

Sel iNKT merupakan subset limfosit T yang menjembatani imunitas bawaan dengan imunitas yang didapat. Respon imun oleh sel ini disebut transitional immunity. Sel iNKT menghasilkan fenotip efektor yang tidak bergantung pada paparan antigen sebelumnya. Sel iNKT dapat memproduksi sitokin TH1 dan TH2, yang dapat mengaktivasi sel efektor baik sel efektor sistem imun bawaan maupun didapat. Interaksi antara sel iNKT dengan sel DC (Dendritic Cell) immature mengakibatkan sel DC mampu mempresentasikan antigen yang memfasilitasi respon sel CD4+, CD8+, maupun  sel B. Sel iNKT dapat mengendalikan pertumbuhan tumor dengan cara membatasi atau menghambat fungsi tumor associated macrophage (TAM) yang berperan menunjang neoangiogenesis dan pertumbuhan tumor. (Kresno, 2010)

B.     Respon Imun Humoral

Antibodi dapat bersifat spesifik terhadap sel kanker seperti antibody terhadao EBV. Pembunuhan tumor yang diperantarai oleh antibody melalui mekanisme ADCC dimana makrofag dan sel NK yang mengekspresikan reseptor Fc-γ memperantarai pembuuhan atau melalui aktivitas komplemen. (Kresno, 2010)

a)               Fase Pergerakan : C3a dan C5a menyebabkan inisiasi khemotaksis (sel PMN yang dominan dalam sirkulasi menuju ke lokasi infeksi). Selain dari komplemen, faktor khemotatik juga dapat berasal dari  bakteri, neutrofil atau makrofag.
b)               Fase Perlekatan : Setelah tiba di lokasi infeksi, PMN melakukan adhesi pada reseptor komplemen (C3b) yang telah menyelimuti sel tumor. C3b mengaktivasi fagositosis oleh PMN (neutrofil dan makrofag) menyebabkan PMN menelan sel tumor di kompleks antigen-antibodi berikatan. Proses ini disebut opsonisasi.
c)               Fase Penelanan : Fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantung yang mengelilingi antigen dan mengurungnya, bentukan ini disebut fagosom.
d)              Fase Pembunuhan : Fagosom berfusi dengan lisosom disebut fagolisosom. Enzim – enzim aktif dalam lisosom seperti lisozym menghancurkan antigen. Selain itu dapat juga terjadi lisis pada antigen, yaitu oleh kompleks litik, yang merupakan kombinasi beberapa faktor komplemen : C5b6789 yang memiliki efek langung terhadap rupturnya membran sel bakteri atau organisme penginvasi lainnya. (Kresno, 2010)

     II.        Mekanisme Spirocerca Lupii

Siklus hidup cacing ini tidak langsung dengan hospes intermediet kumbang coprophagous pemakan kotoran (Scarabeus sacer) dan hospes paratenik berbagai jenis mamalia, burung, kadal, dan kodok. Telur berada pada feses inang dan hanya akan menetas bila dimakan oleh kumbang cocok. Larva berkembang menjadi larva infektif (L3) dan menjadi kista pada kumbang, terutama pada saluran trakea. Jika kumbang (beetle) tersebut ditelan oleh inang yang tidak cocok, larva cacing menjadi mengkista kembali di esofagus, mesenterium atau organ lain dari inang tersebut. Kista tersebut telah ditemukan pada amfibi, reptil, burung, dan mamalia kecil (hospes paratenik). Hospes definitive dapat terinfeksi bila memakan baik kumbang yang berisi larfa infektif maupun hewan lain (hospes paratenik) dimana proses pengkistaan larva terjadi. Saat bebas di dalam perut larva kemudian berpenetrasi di dinding perut, mencapai arteri, bermigrasi ke dinding koroner dan arteri gastrto-epiploika ke arteri celiaca dan kemudian ke aorta, mencapai aorta thoracica bagian atas dalam 3 minggu. Beberapa dapat memasuki vena dan mencapai organ lain. Dinding dari esofagus dan perut ternyata juga dicapai lewat sistem sirkulasi dan menjadi dewasa. Periode prepatent yaitu 4-6 bulan (Monnig, 1950).
Larva yang bermigrasi menyebabkan pendarahan dan radang. Infeksi Spirocerca lupii  menyebabkan hilngnya nafsu makan, muntah dan oleh itritasi cacing menyebabkan tremor, anerurisma aorta, bahkan ruptur pembuluh darah serta terjadi ostearthropati paru-paru sekunder. Tumor esophangeal dapat menyebabkan gangguan deglutinasi, respirasi dan sirkulasi. Kemudian dari perut keluar muntahan yang mana pada saat tersebut terjadi terus-menerus sehingga hewan tidak mampu menyimpan makanannya dan kehilangan kondisi tubuh dengan cepat. Kadang-kadang telur terdapat pada muntahan. Pada sebagian kecil kasus serius tumor menyebabkan kesulitan menelan atau mengganggu secara mekanis kegiatan dari perut. Infeksi aorta biasanya tidak terlihat hingga terjadi sudden death yang disebabkan oleh pecahnya aorta (Monnig, 1950).
Larva yang bermigrasi mengakibatkan hemoragi, reaksi inflamasi dan nekrosis, maupun lapisan nanah atau abses pada jaringan dimana mereka berpenetrasi. Lesi ini pulih segera setelah larva telah lewat, tetapi penyempitan pembuluh darah dapat terjadi. Parasit dewasa mengakibatkan tumor pada esofagus, perut dan aorta, yang mana berisi rongga dan didalamnya terdapat satu atau lebih cacing. Tumor pada dinding aorta dapat mengakibatkan penyempitan, pembengkakan pembuluh nadi atau pecahnya pembuluh darah, diikuti hemoragi yang fatal. Tumor pada esofagus atau perut dapat mengakibatkan penyempitan dan tanda-tanda iritasi. Pada bronkus, glandula limfatica dan rongga peritoneal dan pleural parasit dapat menyebabkan banyak gangguan (Monnig, 1950).
Perkembangan neoplasma terjadi beriringan dengan badan semakin mengurus. Hipertrophic pulmonary osteoarthropathy dapat dijadikan tanda-tanda akhir dari spiroscercosis. Yang lebih penting adalah spekulasi bahwa cacing ini dapat menyebabkan tumor ganas lambung, biasanya osteosarcoma. Cacing dewasa dapat juga menyebabkan degenerasi neuromuscular esofagus dan fibrosarcoma esofagus (Grifftihs, 1978).
Anjing sedikit terinfeksi Spirocerca lupii mungkin tidak menunjukkan tanda penyakit, tanda pada anjing terinfeksi berat tergantung pada lokasi dari worm dan reaksi diproduksi untuk mereka. Nodul yang mengandung cacing dapat ditemukan pada aorta, kerongkongan atau di lokasi lain. Lesi khas di kerongkongan adalah nodul atau serangkaian nodul dengan reaksi, granulomatosa inflamasi. Fibrosis adalah umum. Massa pedunculated mungkin menonjol ke lumen, tetapi mereka mengganggu pencernaan hanya jika mereka besar. Dalam kasus tersebut, muntah persisten dan evenemaciation bisa terjadi. Lesi khas dalam aorta adalah aneurisma yang mungkin atau tidak mungkin melibatkan intima tersebut. Lesi ini dapat menyebabkan dispnea atau bahkan pingsan karena penyumbatan arteri anterior. Mereka mungkin melubangi aorta, pecah dan menyebabkan perdarahan masif dan kematian mendadak. Jika mereka melibatkan saraf bronkial, mereka mau menyebabkan gangguan pernapasan, jika mereka melibatkan sistem nervouse centrall, mereka mungkin causeparaplegia, kelumpuhan, kejang, dll. (Levine, 1963)


  
DAFTAR PUSTAKA

Bijanti, Retno, M. Gandul A.Y., Retno S.W., R. Budi Utomo. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Surabaya : Airlangga University Press.
Griffiths, H.J. 1978. A Handbook of Veterinary Parasitology Domestic Animals of North America.. USA : University of Minnesota Press.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Levine, N.D.1963.  Nematoda Parasites of Domestic Animal and of Man. New York: W.B Sauders.
Monnig, H.O. 1950. Veterinary Helminthology. Great Britain : The Williams and Wilkins Company.
Underwod, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta : EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar