Senin, 16 November 2015

Waktu

Popularitas dan kesuksesan bukan sesuatu yang selamanya ada di dalam kehidupan ini,
ketika popularitas itu menjauh,
kesuksesan mulai memudar,
hanya ada kesombongan yang tertinggal dalam hati,
kesombongan itu menguatkanmu bahwa akan datang kesuksesan dan popularitas itu lagi,
tanpa sadar waktu tidak pernah berulang,
meskipun kita berteriak dan menangis,
waktu tetap berjalan maju.
Kini, tinggal kualitas yang kau miliki
tapi kualitas itu juga bukanlah seberapa,
karena ia telah berkurang,
dimakan waktu,
hingga sisa-sisa terakhir yang tak berharga,
lalu, apa yang tertinggal sekarang?
Apapun yang tertinggal taklah berarti lagi,
karena cepat ataupun lambat,
apapun itu akan berakhir,
berakhir di tangan sang waktu.

Sabtu, 10 Oktober 2015

Tumor

A.       Pengertian Tumor

Tumor atau neoplasma adalah suatu masa abnormal dari sel – sel yang mengalami proliferasi. Sel neoplasma berasal dari sel yang sebelumnya normal, pertumbuhan sel neoplastik biasanya progresif, tidak mencapai keseimbangan dan mengakibatkan epnambahan masa yang memiliki sifat yang sama. (Bijanti et al, 2010)

B.        Penyebab Tumor

1)      Berhentinya produksi dari sel-sel jaringan .
2)      Rusaknya sel normal sehingga tidak dapat berfungsi normal.
3)  Gen p53 berhenti mengirimkan tanda agar sel-sel tertentu mati sesuai waktunya (apoptosis).
4)      Obesitas.
5)      Genetik Lingkungan .
6)      Radiasi sinar matahari.
7)      Zat-zat kimia.  (Underwood, 1999)
C.        Macam – Macam Tumor

1.         Klasifikasi Tumor Berdasarkan Sifat

a)         Tumor Jinak
Tumor jinak tidak invansif dan tetap terlokalisir, pertumbuhan lambat, histologinya mirip dengan jaringan asal. Tumor jinak atau benigna berarti ringan atau tidak progresif. Tumor jinak tidak menembus jaringan sekitarnya atau menyebar ke bagian lain dalam tubuh (metastasis).. Saat tumor jinak timbul pada epitel atau permukaan mukosa, tumor akan tumbuh menjauhi permukaan, karena tumor tidak mengadakan invansi, sehingga sering terbentuk polip yang bentuknya bertangkai atau tonjolan datar, pertumbuhan non invansif keluar memberikan bentuk lesi eksofitik. Tumor jinak pada organ solid, khas berbatas tegas, sering dibatasi dengan kapsul jaringan ikat yang menghambat kemampuan untuk berprilaku ganas. Tumor jinak dapat menjadi hal serius jika tumor berada pada struktur vital seperti pembuluh darah atau saraf. (Underwood, 1999)
b)         Tumor Ganas
Tumor ganas disebut maligna yang berarti buruk atau berpotensi mematiakn dengan karakteristik anaplasia, invasive, dan metastasis. Tumor ganas tidak berkapsul. Sel tumor ganas memiliki perubahan bentuk sel yang berkontribusi terhadap cepatnya proliferasi mereka. Banyak sel ganas juga memiliki kromosom abnormal atau gen berubah, dan memproduksi protein abnormal. Maligna pada organ yang solid cenderung memiliki batas yang tidak jelas, kadang – kadang disertai tebaran lembar jaringan neoplastik ke dalam jaringan normal sekitarnya. Keadaan ini akan memberikan bentuk permukaan yang mirip kepiting (Latin : cancer) dimana penyakit ini kemudian diberi nama. Tumor ganas sering terlihat nekrosis sentral karena berkurangnya perfusi vaskuler. Morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan tumor ganas dapat disebabkan oleh tekanan dan penghancuran jaringan sekitarnya, pembentukan tumor sekunder, kehilangan darah dari permukaan yang ulserasi, obstruksi aliran, produksi hormon (misal ACTH dan ADH). (Underwood, 1999)

2.         Klasifikasi Histogenetik

Klasifikasi berdasarkan asal sel, ditentukan secara histology, derajat kemiripan histology ada jaringan asal memungkinkan pemberian grading tumor, grade histology sesuai dengan sifat klinis. Klasifikasi histogenesis meliputi berbagai sub divisi tetapi pembagian yang luas berdasarkan asal ialah :
a)      Berasal dari sel epitel
b)      Berasal dari jaringan ikat
c)      Berasal dari organ yang limfoud dan hemopoietik. (Underwood, 1999)

       I.          Respon Imun Terhadap Tumor
Heat Shock Protein (HSP) adalah mediator untuk menyajikan peptide mutan dalam jalur presentasi antigen. HSP yang dilepaskan oleh sel – sel tumor, mentransfer antigen tumor kepada APC profesional yang kemudian mengaktivasi limfosit spesifik. Karena telah diketahui, beberapa jenis tumor kurang mampu memproses dan menyajikan antigen tumor kepada sel T karena sel – sel tumor tidak mengekspresikan MHC atau hanya mengekspresikan MHC dalam densitas rendah. Protein mutan yang ditampilkan bersama MHC kelas I akan dikenal oleh sel T-sitotoksik CD8+
Beberapa jenis molekul pada permukaan sel tumor dapat membangkitkan respon antibody. Molekul – molekul itu tidak selalu membangkitkan repon imun, namun antibody yang bereaksi dengan antigen tersebut dapat berguna dalam diagnose dan terapi tumor. Antigen tumor itu disebut tumor associated antigens. Sebagian besar antigen ini tidak merangsang respon imun karena merupakan self protein, walaupun antibody dapat mengikat protein tersebut, belum tentu antibody memiliki potensi protektif. (Kresno, 2010)

A.    Respon Imun Seluler
1.         Limfosit T
Sebagian besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+ yang secara fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel terinfeksi virus. CTL dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal dan membunuh sel potensial ganas yang mengekspresikan peptide yang berasal dari protein seluler mutant atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh MHC kelas I pada sel dendritik. Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (tumor infiltrating lymphocyte = TILs) yang mengandung CTL yang dapat melisiskan sel tumor. Selain melalui efek sitotoksik dan sitolisis, sel T CD8+ terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel tumor melalui efek sitostatik, khususya tumor yang bermetastatis.
Pada umumnya sel T CD4+ tidak bersifat sitoksik bagi tumor tetapi sel – sel itu dapat memproduksi berbagai sitokin yan diperlukan untuk perkembangan sel CTL menjadi sel efektor. Sel T CD4+ yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan IFN-γ yang dapat meningkatkan ekspresi MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL. (Kresno, 2010)

2.         Sel NK

Sel NK adalah sel efektor dengan sitoksisitas spontan terhadap berbagai jenis sel sasaran, sel efektor, dan sitotoksisnya tidak bergantung pada MHC. Sel NK dapat berperan baik dalam respon imun nonspesifik maupun spesifik, dapat diaktivasi secara langsung melalui pengenalan antigen tumor atau sebagai akibat aktivitas sitokin yang diproduksi oleh limfosit T spesifik tumor. Mekanisme lisis yang digunakan sama dengan mekanisme yang digunakan sel T CD8+  untuk membunuh sel tumor. Sel NK dapat membunuh sel tumor tertentu khususnya tumor hemopoetik. Sel NK tidak dapat melisiskan sel yang mengekspresikan MHC yang namun dapat melisiskan sel yang tidak mengekspresikan MHC, yang terhindar oleh  lisis CTL. Sel Nk dapat diarahkan untuk melisiskan sel yang dilapisis immunoglobulin karena ia memiliki reseptor Fc (FcγRIII atau CD16) untuk molekul IgG.
Reseptor penting yang dimiliki sel NK adalah NKG2D yang merupakan glikoprotein transmembran yang diekspresikan pada permukaan sel tumor sehingga sel tumor senditif untuk dibunuh sel NK. Kemampuan membunuh oleh sel NK ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi termasuk IFN, TNF, IL-2, IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktivitas anti tumor bergantung rangsangan sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin diatas. IFN dapat meingkatkan fungsi sel NK. IL-2 meningkatkan pertumbuhan sel NK. (Kresno, 2010)

3.         Makrofag

Makrofag yang diaktivasi dapat melisiskan sel tumor. Makrofag mengekspresikan reseptor Fc-γ dan aktivasinya dapat diarahkan kepada tumor yang dilapisi antibody. Mekanisme lisis dilakukan dengan melepaskan enzim lisosom, ROI, dan RNI. Makrofag teraktivasi juga memproduksi TNF yang merusak sel tumor secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung, terjadi pengikatan TNF pada reseptor permukaan sel tumor. Efek toksik dapat berlangsung secara apoptosis yang diinduksi oleh Fas-Fasl, atau dengan disrupsi protein sitoskletal atau melalui pembentukan thrombosis dalam pembuluh darah sehingga terjadi nekrosis tumor. Secara tidak langsung, yaitu dengan merusak pembuluh darah dalam tumor.
Namun, makrofag ini berperan ganda. Makrofag menunjukan fenotipnya yang bersifat anti tumor : fenotip M1. Makrofag tipe M1 mampu menghasilkan sitokin yang pro inflamasi : TNF-α, IL-1, IL-6, IL-12 atau IL-23 yang mengekspresikan MHC dalam kadar tinggi, dan membunuh sel tumor. Tetapi fenotip yang lain, yaitu M2 mampu menekan respon inflamasi dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-10, dan IL-13, serta sitokin – sitokin tersebut dapat menekan MHC kelas II dan mempromosikan proliferasi sel tumor. (Kresno, 2010)

4.         Sel iNKT

Sel iNKT merupakan subset limfosit T yang menjembatani imunitas bawaan dengan imunitas yang didapat. Respon imun oleh sel ini disebut transitional immunity. Sel iNKT menghasilkan fenotip efektor yang tidak bergantung pada paparan antigen sebelumnya. Sel iNKT dapat memproduksi sitokin TH1 dan TH2, yang dapat mengaktivasi sel efektor baik sel efektor sistem imun bawaan maupun didapat. Interaksi antara sel iNKT dengan sel DC (Dendritic Cell) immature mengakibatkan sel DC mampu mempresentasikan antigen yang memfasilitasi respon sel CD4+, CD8+, maupun  sel B. Sel iNKT dapat mengendalikan pertumbuhan tumor dengan cara membatasi atau menghambat fungsi tumor associated macrophage (TAM) yang berperan menunjang neoangiogenesis dan pertumbuhan tumor. (Kresno, 2010)

B.     Respon Imun Humoral

Antibodi dapat bersifat spesifik terhadap sel kanker seperti antibody terhadao EBV. Pembunuhan tumor yang diperantarai oleh antibody melalui mekanisme ADCC dimana makrofag dan sel NK yang mengekspresikan reseptor Fc-γ memperantarai pembuuhan atau melalui aktivitas komplemen. (Kresno, 2010)

a)               Fase Pergerakan : C3a dan C5a menyebabkan inisiasi khemotaksis (sel PMN yang dominan dalam sirkulasi menuju ke lokasi infeksi). Selain dari komplemen, faktor khemotatik juga dapat berasal dari  bakteri, neutrofil atau makrofag.
b)               Fase Perlekatan : Setelah tiba di lokasi infeksi, PMN melakukan adhesi pada reseptor komplemen (C3b) yang telah menyelimuti sel tumor. C3b mengaktivasi fagositosis oleh PMN (neutrofil dan makrofag) menyebabkan PMN menelan sel tumor di kompleks antigen-antibodi berikatan. Proses ini disebut opsonisasi.
c)               Fase Penelanan : Fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantung yang mengelilingi antigen dan mengurungnya, bentukan ini disebut fagosom.
d)              Fase Pembunuhan : Fagosom berfusi dengan lisosom disebut fagolisosom. Enzim – enzim aktif dalam lisosom seperti lisozym menghancurkan antigen. Selain itu dapat juga terjadi lisis pada antigen, yaitu oleh kompleks litik, yang merupakan kombinasi beberapa faktor komplemen : C5b6789 yang memiliki efek langung terhadap rupturnya membran sel bakteri atau organisme penginvasi lainnya. (Kresno, 2010)

     II.        Mekanisme Spirocerca Lupii

Siklus hidup cacing ini tidak langsung dengan hospes intermediet kumbang coprophagous pemakan kotoran (Scarabeus sacer) dan hospes paratenik berbagai jenis mamalia, burung, kadal, dan kodok. Telur berada pada feses inang dan hanya akan menetas bila dimakan oleh kumbang cocok. Larva berkembang menjadi larva infektif (L3) dan menjadi kista pada kumbang, terutama pada saluran trakea. Jika kumbang (beetle) tersebut ditelan oleh inang yang tidak cocok, larva cacing menjadi mengkista kembali di esofagus, mesenterium atau organ lain dari inang tersebut. Kista tersebut telah ditemukan pada amfibi, reptil, burung, dan mamalia kecil (hospes paratenik). Hospes definitive dapat terinfeksi bila memakan baik kumbang yang berisi larfa infektif maupun hewan lain (hospes paratenik) dimana proses pengkistaan larva terjadi. Saat bebas di dalam perut larva kemudian berpenetrasi di dinding perut, mencapai arteri, bermigrasi ke dinding koroner dan arteri gastrto-epiploika ke arteri celiaca dan kemudian ke aorta, mencapai aorta thoracica bagian atas dalam 3 minggu. Beberapa dapat memasuki vena dan mencapai organ lain. Dinding dari esofagus dan perut ternyata juga dicapai lewat sistem sirkulasi dan menjadi dewasa. Periode prepatent yaitu 4-6 bulan (Monnig, 1950).
Larva yang bermigrasi menyebabkan pendarahan dan radang. Infeksi Spirocerca lupii  menyebabkan hilngnya nafsu makan, muntah dan oleh itritasi cacing menyebabkan tremor, anerurisma aorta, bahkan ruptur pembuluh darah serta terjadi ostearthropati paru-paru sekunder. Tumor esophangeal dapat menyebabkan gangguan deglutinasi, respirasi dan sirkulasi. Kemudian dari perut keluar muntahan yang mana pada saat tersebut terjadi terus-menerus sehingga hewan tidak mampu menyimpan makanannya dan kehilangan kondisi tubuh dengan cepat. Kadang-kadang telur terdapat pada muntahan. Pada sebagian kecil kasus serius tumor menyebabkan kesulitan menelan atau mengganggu secara mekanis kegiatan dari perut. Infeksi aorta biasanya tidak terlihat hingga terjadi sudden death yang disebabkan oleh pecahnya aorta (Monnig, 1950).
Larva yang bermigrasi mengakibatkan hemoragi, reaksi inflamasi dan nekrosis, maupun lapisan nanah atau abses pada jaringan dimana mereka berpenetrasi. Lesi ini pulih segera setelah larva telah lewat, tetapi penyempitan pembuluh darah dapat terjadi. Parasit dewasa mengakibatkan tumor pada esofagus, perut dan aorta, yang mana berisi rongga dan didalamnya terdapat satu atau lebih cacing. Tumor pada dinding aorta dapat mengakibatkan penyempitan, pembengkakan pembuluh nadi atau pecahnya pembuluh darah, diikuti hemoragi yang fatal. Tumor pada esofagus atau perut dapat mengakibatkan penyempitan dan tanda-tanda iritasi. Pada bronkus, glandula limfatica dan rongga peritoneal dan pleural parasit dapat menyebabkan banyak gangguan (Monnig, 1950).
Perkembangan neoplasma terjadi beriringan dengan badan semakin mengurus. Hipertrophic pulmonary osteoarthropathy dapat dijadikan tanda-tanda akhir dari spiroscercosis. Yang lebih penting adalah spekulasi bahwa cacing ini dapat menyebabkan tumor ganas lambung, biasanya osteosarcoma. Cacing dewasa dapat juga menyebabkan degenerasi neuromuscular esofagus dan fibrosarcoma esofagus (Grifftihs, 1978).
Anjing sedikit terinfeksi Spirocerca lupii mungkin tidak menunjukkan tanda penyakit, tanda pada anjing terinfeksi berat tergantung pada lokasi dari worm dan reaksi diproduksi untuk mereka. Nodul yang mengandung cacing dapat ditemukan pada aorta, kerongkongan atau di lokasi lain. Lesi khas di kerongkongan adalah nodul atau serangkaian nodul dengan reaksi, granulomatosa inflamasi. Fibrosis adalah umum. Massa pedunculated mungkin menonjol ke lumen, tetapi mereka mengganggu pencernaan hanya jika mereka besar. Dalam kasus tersebut, muntah persisten dan evenemaciation bisa terjadi. Lesi khas dalam aorta adalah aneurisma yang mungkin atau tidak mungkin melibatkan intima tersebut. Lesi ini dapat menyebabkan dispnea atau bahkan pingsan karena penyumbatan arteri anterior. Mereka mungkin melubangi aorta, pecah dan menyebabkan perdarahan masif dan kematian mendadak. Jika mereka melibatkan saraf bronkial, mereka mau menyebabkan gangguan pernapasan, jika mereka melibatkan sistem nervouse centrall, mereka mungkin causeparaplegia, kelumpuhan, kejang, dll. (Levine, 1963)


  
DAFTAR PUSTAKA

Bijanti, Retno, M. Gandul A.Y., Retno S.W., R. Budi Utomo. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Surabaya : Airlangga University Press.
Griffiths, H.J. 1978. A Handbook of Veterinary Parasitology Domestic Animals of North America.. USA : University of Minnesota Press.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Levine, N.D.1963.  Nematoda Parasites of Domestic Animal and of Man. New York: W.B Sauders.
Monnig, H.O. 1950. Veterinary Helminthology. Great Britain : The Williams and Wilkins Company.
Underwod, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta : EGC.

Minggu, 31 Mei 2015

Jenis – Jenis Jamur Penyebab Penyakit Zoonosis/Non Zoonosis


A.       Mikrosporum canis
M.canis adalah penyebab ringworm utama pada kucing dan biasa pada anjing. Infeksi pada berbagai hewan lain seperti sapi, kuda, biri-biri, babi, keledai, kambing, singa, kera, orang utan, marmot, dan kelinci pernah dilaporkan. Penyakit ini zoonosis. Anak kucing diduga sebagai sumber yang paling sering menjadi outbreak atau letupan penyakit pada manusia.
Biasanya kucing tampak alopecia ( kehilangan rambut ) pada muka dan rambut. Kadang-kadang sembuh spontan. Sedangkan lesi-lesi pada anjing tampak nyata, jelas, terbatas (circumscribed), tertutup sisik-sisik dan punting-puntung rambut yang putus (hairstub) atau tanpa sisik dan tanpa rambut sama sekali
M. canis tumbuh sangat cepat, kadang-kadang 48 jam pertumbuhan sudah kelihatan. Koloni tumbuh berwarna putih, seperti kapas (cottony), dengan pigmen bright yellow pada pertumbuhan perifer dengan bagian balik kuning terang. Koloni dapat juga fluffy dan wooly, kadang-kadang chalky sampai granuler. Perifer ada ekstensi radial dengan tepi kuning. Macroconidia dihasilkan banyak dengan ukuran yang besar, berdinding tebal dan kasar, multiseptat, berbentuk bulat, oval atau seperti buah pear atau kumparan dengan permukaan yang  sandy. (Jones, 1957)

B.     Mikrosporum nanum
Menyerang pada babi. Gejala klinis berupa lesi-lesi penampakan merah ( redcast) dan ditutupi dengan selaput atau keropeng superficial coklat. Selaput-selaput prominen pada perifer lesi-lesi membentuk pita prominen lebar 2.5 cm. Kulit agak kasar pada daerah infeksi atnpa alopecia yang nyata atau kegatalan (prunitis). M. nanum adalah zoophilic. Di bawah wood’s lamp tidak tampak fluoresensi, atau kalau adapun sangat lemah. Koloni mula-mula putih, seperti kapas atau wol dengan bawah berwarna oranye sampai coklat kekuning-kuningan.

Semakin tua koloni mereka menjadi granuler dengan tepi kuning ( a buff periphery ) dengan balik merah mawar. Secara histology, gambaran menciri berupa makrokonidia yang banyak dan kecil, berbentuk gada, elips, ber sel dua, terpotong pada ujung atau truncated, berdinding tipis, kasar berduri. (Subronto, 1985)

             
C.        Trichophyton gallinae
Ringworm pada ayam disebabkan oleh T.gallinae yang merupakan suatu fungi zoopholic. Pathogenesis terutama pada ayam,dan reservoirnya adalah manusia, hewan piaraan, kera, burung merpati, kucing, anjing dan hewan pengerat. Infeksi dimulai sebagai deposit bersisik, putih pada bagian tidak berbulu daripada kepala dan dapat menyebar ke bagian kulit yang berbulu. Organisme ini tidak menyerang bulu maupun organ internal. Pada ayam,kulit terserang sampai mulut folikel bulu. Manusia kadang terserang pada kulit. Infeksi T.gallinae bersifat enzootic terutama menyerang ayam dan kalkun. Kerokan kulit terinfeksi dapat menunjukan keberadaan miselium pendek-pendek,tebal,bercabang-cabang dan berpuntir atau twist dengan arthrospora bulat. Koloni tumbuh agak cepat,bertumpuk-tumpuk berwarna putih halus seperti bulu  dengan tepi terkoyak,dan alur radial halus serta pigmen merah rasberi terlarut difus keseluruh media. Secara mikroskopis,macroconidia pada kultur biasanya jarang tetapi dapat juga banyak 2-10 sel. Bentuk clavate / silindris berdinding halus,berdiameter 15-50 micro x 6-8 micro. Terdapat tunggal atau dalam untaian,microconidia bulat oval seperti buah pir,terdapat di sepanjang hifa. Hifa bercabang,septet,kadang memisah menjadi spora. Keberadaan dinding halus dengan tonjolan individual yang berujung tumpul. (Tabbu, 2000)
Fungi mensekresikan keratinase, elastase dan kolagenase. Enzim – enzim ini membantu menyediakan nutrisi dengan mendigesti jaringan hospes. Hal ini mampu mengakibatkan reaksi peradangan di titik infeksi. Perubahan klinis dimulai dengan eritema, kemudian diikuti dengan eksudasi, panas setempat dan terjadinya alopecia. Karena jamur tidak tahan hidup dalam suasana radang, jamur berusaha meluas kepinggir lesi, hingga akhirnya terbentuk lesi yang klasik berupa lesi yang bulat atau sirkuler, dengan bagian tengahnya mengalami kesembuhan. Apabila jamur bertumbuh pada kulit yang memiliki selaput keratin yang tebal dan jauh dari jaringan vaskuler, secara teoritis ringworm akan bersifat kronik. Secara teoritis juga, apabila tubuh cukup mampu melawan ringworm dengan pembentukan radang yang berlebih, jamur akan mati dan akan menghasilkan kesembuhan sempurna. (Quinn, 2002)

D.       Coccidioides immitis

Coccidioides immitis adalah suatu jamur. Biasanya terdapat di tanah, sehingga disebut jamur tanah. Jamur ini bersifat endemik dan dapat menyebabkan koksidioidomikosis. Infeksi yang ditimbulkan jamur ini biasanya dapat sembuh sendiri tetapi juga dapat mematikan. Jamur jenis ini juga dikenal sebagai jamur dimorfik karena jamur ini mempunyai daya adaptasi morfologik yang unik terhadap pertumbuhan dalam jaringan atau pertumbuhan pada 37°C. Coccidioides immitis bentuknya seperti bola (sferul) yang garis tengahnya 15 - 60μm, dengan dinding tebal berbias ganda. Hifa dari jamur ini juga mudah pecah dan mengeluarkan spora. Spora yang dihasilkan inilah yang nantinya berpengaruh pada proses infeksinya. Infeksi oleh jamur ini biasanya meliputi influenza, demam, lesu, batuk, dan adanya rasa sakit di seluruh tubuh. Gejala – gejala inilah yang biasanya disebut “Valley fever” dan biasanya gejala ini dapat seolah – olah sembuh sendiri yang dikenal dengan infeksi primer dan hanya dibutuhkan pengobatan suportif atau dapat juga kronik. Koksidioidomikosis yang menyebar ini dapat disamakan dengan tuberkolosis. (Jones, 1957)

E.     Sporotrichum schenckii 


Sporotrichum schencki .Di alam bebas, S.schenckii  sering terdapat di tanah dan tumbuh-tumbuhan yang sudah lapuk. Sporotrichum schenckii  adalah jamur dimorfik bergantung suhu (thermally dimorphic). Biakan jamur pada suhu kamar membentuk koloni filamen putih dengan hifa halus dan spora yang tersusun menyerupai bunga pada ujung konidiofora. Pada suhu 37°C biakan membentuk koloni ragi dengan blastospora yang bulat dan lonjong. Sporotrikosis adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh Sporotrichium schencki  dan ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit dan jaringan subkutis diatas nodus bening sering melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen. Infeksi terjadi karena jamur masuk ke dalam jaringan subkutis melalui luka pada kulit oleh duri atau kayu lapuk. Infeksi dapat juga melalui inhalasi spora. (Jones, 1957)

F.         Aspergillus sp.
Aspergilosis pada unggas terutama disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Organisme lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab aspergilosis adalah A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A. amstelodami dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus tidak memiliki stadium seksual sehinga digolongkan pada famili Moniliaceae (Tabbu, 2000).
Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena aspergilosis (Tabbu, 2000).
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin. Jamur yang tumbuh pada ransum dan bahan baku ransum dapat dengan mudah dimatikan, namun tidak demikian dengan racun jamur yang terbentuk. Racun itu sangat sulit untuk dihilangkan. (Jones, 1957)
Racun jamur yang terkonsumsi oleh ayam biasanya tidak langsung dikeluarkan dari tubuh, namun akan terakumulasi dan saat kadarnya telah mencapai titik tertentu (batas normal) maka ayam akan mulai menunjukkan gejala. Salah satunya ialah melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam atau sering disebut imunosupresi. Imunosupresi yang disebabkan oleh mikotoksin bersifat kronis. Namun jika konsentrasi tinggi akan bersifat akut. Imunosupresi merupakan gejala awal saat kadar mikotoksin relatif rendah, selanjutnya terjadi gangguan metabolisme, timbul gejala klinis dan akhirnya timbul kematian. (Jones, 1957)

G.    Candida albicans
Genus Candida terdiri dari 200 spesies lebih. Candida albicans, spesies yang sering dihubungkan dengan penyakit pada hewan, tidak mempunyai stadium seksual. Spesies ini dapat tumbuh secara aerobik pada temperatur 37 0C pada media umum termasuk Sabouraud Dextrose Agar. Koloni terdiri sel kecambah berbentuk oval dengan ukuran 5.0 x 8.0 μm. Pada jaringan hewan, C. albicans dapat menunjukkan polimorfisme dalam bentuk pseudohifa atau hifa. Pada media tertentu, secara spesifik spesies ini memproduksi chlamydospore (chlamydoconidia). Koloninya yaitu berwarna putih, terang dan cembung, dengan diameter 4 sampai 5 mm setelah inkubasi selama 3 hari. (Jones, 1957)
Candida albicans, khamir yang berperan dalam penyakit pada hewan, memiliki beberapa factor virulensi. Organisme ini mempunyai permukaan molekul yang mirip integrin yang dapat menyebabkan adhesi pada protein matriks. Sebagai tambahan, permukaan struktur dapat mengikat fibrinogen dan komponen komplemen. Produksi protease dan fosfolipase dapat membantu invasi jaringan. Fenotipik switching, telah ditunjukkan pada pada C. albicans, yang dapat memfasilitasi evasi pada mekanisme pertahanan hospes. (Jones, 1957)
Pada stadium awal infeksi, mekanisme penghilangan oleh proses fagositik mengeliminasi sel khamir. Sel-sel tersebut merupakan sel yang belum jelas berubah menjadi bentuk hifa. Fosfolipase, yang terkonsentrasi pada ujung hifa, dapat meningkatkan tingkat invasi. Bentuk mukokutaneus yang terlokalisir pada penyakit candidiasis dihubungkan pertumbuhan yang cepat dari C. albicans flora normal pada rongga mulut atau gastrointestinal dan saluran urogenital. Faktor predisposisi termasuk kerusakan pada imunitas cell-mediated, penyakit yang terjadi saat itu, gangguan flora normal akibat obat antimicroba dan kerusakan mukosa akibat handling kateter yang buruk. Mukosa yang terinfeksi menjadi tebal dan kadang hiperemis. Penyebaran lewat aliran darah dapat terjadi akibat invasi vaskuler oleh hifa atau pseudohifa, menghasilkan infeksi sistemik. (Jones, 1957)

     II.        Aspergillosis (Etiologi, Gejala Klinik, Pathogenesis, Cara Diagnosa, dan Terapi)

A.    Etiologi

Aspergilosis pada unggas terutama disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Organisme lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab aspergilosis adalah A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A. amstelodami dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus tidak memiliki stadium seksual sehinga digolongkan pada famili Moniliaceae. (Tabbu, 2000). A. fumigatus merupakan penyebab infeksi terbanyak dimana > 90% menyebabkan invansif dan non-invansif Aspergillosis. A. flavus menyebabkan invansif Aspergillosis sebanyak 10% sedangkan A. niger dan A. terreus sebanyak 2%. Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Organisme itu dapat juga tumbuh di antara kerabang dan bagian luar selaput telur, sehingga anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena Aspergillosis. (Tabbu, 2000)

B.     Gejala Klinik

Masa inkubasi Aspergillosis sekitar 4-10 hari dan proses penyakit dapat berlangsung sekitar 2 sampai beberapa minggu. Ada 2 bentuk :

1.      Bentuk Akut
Gejala yang terlihat meliputi dyspnoea, bernapa melalui mulut dengan leher dijulurkan ke atas, peningkatan frekuensi pernapasan, kehilangan nafsu makan, mengantuk dan pada kejadian yang jarang terlihat adanya paralisi dan kejang akibat toksin yang telah mencapai otak. Jika aspergillosis diikuti chronic respiratory disease, infectious bronchitis, infectious laryngotracheitis, maka akan terdengar suara ngorok yang basah, jika gangguan pernapasan hanya disebabkan Aspergillosis maka tidak akan terdengar suara ngorok yang terlihat hanya kesulitan bernapas yang kering. Bentuk ensefalitik sering ditemukan pada kalkun. Ayam terinfeksi berat biasanya mati dalam 2 – 4 minggu. Mortalitas biasanya sekitar 5% - 20% tetapi kadang dapat mencapai 50%. (Tabbu, 2000)

2.      Bentuk Kronis

Gejala yang terlihat adalah hilangnya nafsu makan, lesu, bernapas dengan mulut, emasiasi, sianosis, dan dapat berlanjut dengan kematian. Dapat ditemui gangguan saraf pusat. Lamanya proses tergantung pada umur dan daya tahan tubuh ayam, proses dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan. Mortalitas kurang dari 5%. (Tabbu, 2000)

C.     Pathogenesis

Konidia Aspergillus terhirup, karena ukurannya yang sangat kecil dan mudah terbawa angin. Konidia masuk ke dalam rongga hidung yang didalamnya terdapat mukosillia. Mukosilia tidak dapat menyaring konidia, karena ukura konidia yang kecil dan tahan terhadap suhu tinggi.. Konidia terus masuk ke dalam saluran pernafasan, dan mencapai distal alveolar serta melakukan perlekatan untuk merusak epithelium. Konidia bertambah besar ukurannya di alveoli dan mulai untuk germinasi. Cairan seperti lektin berperan dalam menangkap konidia pada paru - paru, yang kemudian difagosit oleh makrofag alveolar. Makrofag alveolar juga berperan dalam memblok germinasi Aspergillus. Namun, konidia memiliki pertahanan dalam melawan makrofag, antara lain sebagai berikut :
a)         Aspergillus mengandung melanin sebagai pembungkus conidiospora sehingga tidak dapat difagosit oleh sel makrofag alveolar.
b)         SOD di lapisan luar untuk melindungi conidiospora agar tidak rusak.
c)         Aspergillus menghasilkan enzim elaktase dan fosfolifase yang membuat jaringan paru – paru menjadi nekrosis.
d)        Apergillus fumigatus menghasilkan metabolit sekunder antara lain penicillin, mikotoxin, dan hypha fragment. Mikotoksin antara lain : fumigaclavins, fumagilin, fumigatin, fumitoxins, fumitremorgin A & C, gliotoxin, spinulosin, tryptoquivalins, verrucologen. Dan gliotoxin berperan menurunkan fungsi makrofag dan neutrofil.
Hifa menyebar ke seluruh parenkim paru – paru dan pembuluh darah sehingga menimbulkan hemorrhage dan nekrosis. Adanya nekrosis memicu datangnya neutrofil yang berusaha untuk memblok hifa. Peristiwa ini dapat memicu supurasi. (Barness & Marr, 2006)

D.    Cara Diagnosa

Diagnosa didasarkan dari kombinasi gejala klinis, symptom, culture, histopatologi, dan deteksi komponen fungi seperti antigen galactomannan. Mengamati perubahan secara patologis dan patohistologis. Contoh: Pemeriksaan histopatologik menimbulkan bahwa C. immitis tumbuh pada jaringan inang akan membentuk sel raksasa, berdinding tebal dan berisi banyak endospora. Selain pada jaringan, sel raksasa ini juga dapat ditemukan pada lesio purulenta, dan sumsum tulang belakang. Gambaran ini dapat disimpan untuk kepentingan diagnostika. (Pramono, 1988)
Diagnosa Laboratorik :
a)         Penggunaan Wood’s light (UV terfilter) untuk pemeriksaan lesi di ruang gelap. Fungi seperti genus Microsporum, mampu berflouresence di bawah sinar UV.
b)         Identifikasi fungi dengan metode kerok kulit, rambut dan kuku terinfeksi (Quinn, 2002)
c)         Pemeriksaan histologik atas bagian kulit yang mengalami radang minimal akan menunjukkan hiperkeratosis yang bersifat moderat dari epidernis folikel, adanya akantosis serta reaksi radang perifolikuler yang bersifat minimal serta infiltrasi sel–sel mononuklear. Bagian –bagian jamur selau ditemukan apabila sedian diwarnai dengan pewarnaan asam peryodat Schiff (PAS) atau perak methenamin. Selain yang disebutkan, ditemukan ulserasi epidermis yang diisi oleh keropeng–keropeng hasil peradangan. Dinding folikel rambut yang terserang akan berisikan sel–sel PMN dan mononuklear, limfosit, plasma sel dan histiosit. Pada bagian yang mengalami peradangan intensif, fragmen jamur tidak akan dapat dijumpai. (Jones, 1957)

E.     Terapi

Amphotericin dan itraconazole adalah standar treatment untuk Aspergillosis. Voriconazole diketahui lebih efektif dibandingkan amphotericin B, karena pasien memiliki ketahanan yang lebih baik dan sedikit efek toksik. Echinocandins menghambat sintesis dinding sel beta-glucan. Terdapat bukti bahwa terapi ganda untuk Aspergillosis dengan echinocandins lebih baik dibandingkan single terapi, contoh lain adalah gabungan pemakaian caspofungin dan voriconazole untuk pasien yang menderita gagal ginjal. Lama terapi untuk Aspergillosis belum diketahui. Pada praktiknya pasien ditreatment hingga imunosuppresionnya berkurang, biasanya selama beberapa bulan tergantung kondisi pasien. Penggunaan dari granulcyte macrophage colony-stimulating factor dapat meningkatkan jumlah neutrofil dan membantu membersihka Aspergilus sp. Operasi pada beberapa kasus immunosupresi merupakan pilihan yang berisiko tinggi. Pada sedikit pasien, operasi merupakan pilihan terapi, yang telah ditingkatkan teknik operasi yang invansive. Resection dari lesi terisolasi tampaknya penting pada pasien yang memiliki lesi dekat pembuluh darah besar. (Barnes & Marr, 2006)

    III.       Respon Imun Terhadap Aspergillosis

Respon imun seluler merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi jamur. Mediator utama sistem imun melawan jamur adalah makrofag dan neutrofil. Dari sistem imun, sel TCD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk menghilangkan jamur. Dari subset TCD4+, respon sel Th1 merupakan respon protektif, karena sel Th1 berperan mengaktifkan makrofag, sedangkan respon Th2 merugikan pejamu karena menghambat (downregulation) aktivitas makrofag, untuk mencegah reaksi berlebihan yang dapat berakibat kerusakan sel. CD8+  berperan mensekresikan IFN-γ yang diperlukan untuk mengaktifkan makrofag. Tidak heran bahwa inflamasi granulomatosa sering merupakan penyebab kerusakan jaringan pejamu yang terinfeksi jamur intraseluler. (Kresno, 2010)
Infeksi kulit dapat membatasi diri dan biasanya sembuh dengan menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya. Resistensi berasal dari reaksi hipersensitivitas tipe IV yang ditunjukan penderita terhadap jamur bersangkutan. Selain itu, resistensi juga dapat disebabkan oleh sel T yang memproduksi limfokin untuk mengaktifkan makrofag mengahancurkan jamur bersangkutan. Kulit dan paru – paru mempunyai mekanisme pertahanan fagositik. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan konidia Aspergillus sp. sedangkan PMN leukosit dan monosit dapat merusak hifa Aspergillus sp. melalui mekanisme oxidative dan non oxidative. Makrofag dan neutrofil merupakan mekanisme pertahanan paru – paru terhadap Aspergillus sp. Keratin dan barrier epidermis kulit juga merupakan mekanisme pertahanan terhadap Aspergillus sp. (Kresno, 2010)

  
DAFTAR PUSTAKA

Barnes,  Penelope D., Kieren A. Marr. 2006. Aspergillosis : Spectrum of Disease, Diagnosis, and Treatment. Infectious isease Clinics of North America Vol. 20 : 545 – 561.
Jones, Thomas C., Ronald D.H., Norval W.K. 1957. Veterinary Pathology. Philadelphia : Lea & Febiger.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I . Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tabbu, Charles Rangga. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 1. Yogyakarta : Kanisius
Quinn,P. 2002. Veterinary Microbilogy and Microbial Disease. Dubli : Blacwell Science.