Minggu, 31 Mei 2015

Jenis – Jenis Jamur Penyebab Penyakit Zoonosis/Non Zoonosis


A.       Mikrosporum canis
M.canis adalah penyebab ringworm utama pada kucing dan biasa pada anjing. Infeksi pada berbagai hewan lain seperti sapi, kuda, biri-biri, babi, keledai, kambing, singa, kera, orang utan, marmot, dan kelinci pernah dilaporkan. Penyakit ini zoonosis. Anak kucing diduga sebagai sumber yang paling sering menjadi outbreak atau letupan penyakit pada manusia.
Biasanya kucing tampak alopecia ( kehilangan rambut ) pada muka dan rambut. Kadang-kadang sembuh spontan. Sedangkan lesi-lesi pada anjing tampak nyata, jelas, terbatas (circumscribed), tertutup sisik-sisik dan punting-puntung rambut yang putus (hairstub) atau tanpa sisik dan tanpa rambut sama sekali
M. canis tumbuh sangat cepat, kadang-kadang 48 jam pertumbuhan sudah kelihatan. Koloni tumbuh berwarna putih, seperti kapas (cottony), dengan pigmen bright yellow pada pertumbuhan perifer dengan bagian balik kuning terang. Koloni dapat juga fluffy dan wooly, kadang-kadang chalky sampai granuler. Perifer ada ekstensi radial dengan tepi kuning. Macroconidia dihasilkan banyak dengan ukuran yang besar, berdinding tebal dan kasar, multiseptat, berbentuk bulat, oval atau seperti buah pear atau kumparan dengan permukaan yang  sandy. (Jones, 1957)

B.     Mikrosporum nanum
Menyerang pada babi. Gejala klinis berupa lesi-lesi penampakan merah ( redcast) dan ditutupi dengan selaput atau keropeng superficial coklat. Selaput-selaput prominen pada perifer lesi-lesi membentuk pita prominen lebar 2.5 cm. Kulit agak kasar pada daerah infeksi atnpa alopecia yang nyata atau kegatalan (prunitis). M. nanum adalah zoophilic. Di bawah wood’s lamp tidak tampak fluoresensi, atau kalau adapun sangat lemah. Koloni mula-mula putih, seperti kapas atau wol dengan bawah berwarna oranye sampai coklat kekuning-kuningan.

Semakin tua koloni mereka menjadi granuler dengan tepi kuning ( a buff periphery ) dengan balik merah mawar. Secara histology, gambaran menciri berupa makrokonidia yang banyak dan kecil, berbentuk gada, elips, ber sel dua, terpotong pada ujung atau truncated, berdinding tipis, kasar berduri. (Subronto, 1985)

             
C.        Trichophyton gallinae
Ringworm pada ayam disebabkan oleh T.gallinae yang merupakan suatu fungi zoopholic. Pathogenesis terutama pada ayam,dan reservoirnya adalah manusia, hewan piaraan, kera, burung merpati, kucing, anjing dan hewan pengerat. Infeksi dimulai sebagai deposit bersisik, putih pada bagian tidak berbulu daripada kepala dan dapat menyebar ke bagian kulit yang berbulu. Organisme ini tidak menyerang bulu maupun organ internal. Pada ayam,kulit terserang sampai mulut folikel bulu. Manusia kadang terserang pada kulit. Infeksi T.gallinae bersifat enzootic terutama menyerang ayam dan kalkun. Kerokan kulit terinfeksi dapat menunjukan keberadaan miselium pendek-pendek,tebal,bercabang-cabang dan berpuntir atau twist dengan arthrospora bulat. Koloni tumbuh agak cepat,bertumpuk-tumpuk berwarna putih halus seperti bulu  dengan tepi terkoyak,dan alur radial halus serta pigmen merah rasberi terlarut difus keseluruh media. Secara mikroskopis,macroconidia pada kultur biasanya jarang tetapi dapat juga banyak 2-10 sel. Bentuk clavate / silindris berdinding halus,berdiameter 15-50 micro x 6-8 micro. Terdapat tunggal atau dalam untaian,microconidia bulat oval seperti buah pir,terdapat di sepanjang hifa. Hifa bercabang,septet,kadang memisah menjadi spora. Keberadaan dinding halus dengan tonjolan individual yang berujung tumpul. (Tabbu, 2000)
Fungi mensekresikan keratinase, elastase dan kolagenase. Enzim – enzim ini membantu menyediakan nutrisi dengan mendigesti jaringan hospes. Hal ini mampu mengakibatkan reaksi peradangan di titik infeksi. Perubahan klinis dimulai dengan eritema, kemudian diikuti dengan eksudasi, panas setempat dan terjadinya alopecia. Karena jamur tidak tahan hidup dalam suasana radang, jamur berusaha meluas kepinggir lesi, hingga akhirnya terbentuk lesi yang klasik berupa lesi yang bulat atau sirkuler, dengan bagian tengahnya mengalami kesembuhan. Apabila jamur bertumbuh pada kulit yang memiliki selaput keratin yang tebal dan jauh dari jaringan vaskuler, secara teoritis ringworm akan bersifat kronik. Secara teoritis juga, apabila tubuh cukup mampu melawan ringworm dengan pembentukan radang yang berlebih, jamur akan mati dan akan menghasilkan kesembuhan sempurna. (Quinn, 2002)

D.       Coccidioides immitis

Coccidioides immitis adalah suatu jamur. Biasanya terdapat di tanah, sehingga disebut jamur tanah. Jamur ini bersifat endemik dan dapat menyebabkan koksidioidomikosis. Infeksi yang ditimbulkan jamur ini biasanya dapat sembuh sendiri tetapi juga dapat mematikan. Jamur jenis ini juga dikenal sebagai jamur dimorfik karena jamur ini mempunyai daya adaptasi morfologik yang unik terhadap pertumbuhan dalam jaringan atau pertumbuhan pada 37°C. Coccidioides immitis bentuknya seperti bola (sferul) yang garis tengahnya 15 - 60μm, dengan dinding tebal berbias ganda. Hifa dari jamur ini juga mudah pecah dan mengeluarkan spora. Spora yang dihasilkan inilah yang nantinya berpengaruh pada proses infeksinya. Infeksi oleh jamur ini biasanya meliputi influenza, demam, lesu, batuk, dan adanya rasa sakit di seluruh tubuh. Gejala – gejala inilah yang biasanya disebut “Valley fever” dan biasanya gejala ini dapat seolah – olah sembuh sendiri yang dikenal dengan infeksi primer dan hanya dibutuhkan pengobatan suportif atau dapat juga kronik. Koksidioidomikosis yang menyebar ini dapat disamakan dengan tuberkolosis. (Jones, 1957)

E.     Sporotrichum schenckii 


Sporotrichum schencki .Di alam bebas, S.schenckii  sering terdapat di tanah dan tumbuh-tumbuhan yang sudah lapuk. Sporotrichum schenckii  adalah jamur dimorfik bergantung suhu (thermally dimorphic). Biakan jamur pada suhu kamar membentuk koloni filamen putih dengan hifa halus dan spora yang tersusun menyerupai bunga pada ujung konidiofora. Pada suhu 37°C biakan membentuk koloni ragi dengan blastospora yang bulat dan lonjong. Sporotrikosis adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh Sporotrichium schencki  dan ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit dan jaringan subkutis diatas nodus bening sering melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen. Infeksi terjadi karena jamur masuk ke dalam jaringan subkutis melalui luka pada kulit oleh duri atau kayu lapuk. Infeksi dapat juga melalui inhalasi spora. (Jones, 1957)

F.         Aspergillus sp.
Aspergilosis pada unggas terutama disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Organisme lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab aspergilosis adalah A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A. amstelodami dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus tidak memiliki stadium seksual sehinga digolongkan pada famili Moniliaceae (Tabbu, 2000).
Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena aspergilosis (Tabbu, 2000).
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin. Jamur yang tumbuh pada ransum dan bahan baku ransum dapat dengan mudah dimatikan, namun tidak demikian dengan racun jamur yang terbentuk. Racun itu sangat sulit untuk dihilangkan. (Jones, 1957)
Racun jamur yang terkonsumsi oleh ayam biasanya tidak langsung dikeluarkan dari tubuh, namun akan terakumulasi dan saat kadarnya telah mencapai titik tertentu (batas normal) maka ayam akan mulai menunjukkan gejala. Salah satunya ialah melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam atau sering disebut imunosupresi. Imunosupresi yang disebabkan oleh mikotoksin bersifat kronis. Namun jika konsentrasi tinggi akan bersifat akut. Imunosupresi merupakan gejala awal saat kadar mikotoksin relatif rendah, selanjutnya terjadi gangguan metabolisme, timbul gejala klinis dan akhirnya timbul kematian. (Jones, 1957)

G.    Candida albicans
Genus Candida terdiri dari 200 spesies lebih. Candida albicans, spesies yang sering dihubungkan dengan penyakit pada hewan, tidak mempunyai stadium seksual. Spesies ini dapat tumbuh secara aerobik pada temperatur 37 0C pada media umum termasuk Sabouraud Dextrose Agar. Koloni terdiri sel kecambah berbentuk oval dengan ukuran 5.0 x 8.0 μm. Pada jaringan hewan, C. albicans dapat menunjukkan polimorfisme dalam bentuk pseudohifa atau hifa. Pada media tertentu, secara spesifik spesies ini memproduksi chlamydospore (chlamydoconidia). Koloninya yaitu berwarna putih, terang dan cembung, dengan diameter 4 sampai 5 mm setelah inkubasi selama 3 hari. (Jones, 1957)
Candida albicans, khamir yang berperan dalam penyakit pada hewan, memiliki beberapa factor virulensi. Organisme ini mempunyai permukaan molekul yang mirip integrin yang dapat menyebabkan adhesi pada protein matriks. Sebagai tambahan, permukaan struktur dapat mengikat fibrinogen dan komponen komplemen. Produksi protease dan fosfolipase dapat membantu invasi jaringan. Fenotipik switching, telah ditunjukkan pada pada C. albicans, yang dapat memfasilitasi evasi pada mekanisme pertahanan hospes. (Jones, 1957)
Pada stadium awal infeksi, mekanisme penghilangan oleh proses fagositik mengeliminasi sel khamir. Sel-sel tersebut merupakan sel yang belum jelas berubah menjadi bentuk hifa. Fosfolipase, yang terkonsentrasi pada ujung hifa, dapat meningkatkan tingkat invasi. Bentuk mukokutaneus yang terlokalisir pada penyakit candidiasis dihubungkan pertumbuhan yang cepat dari C. albicans flora normal pada rongga mulut atau gastrointestinal dan saluran urogenital. Faktor predisposisi termasuk kerusakan pada imunitas cell-mediated, penyakit yang terjadi saat itu, gangguan flora normal akibat obat antimicroba dan kerusakan mukosa akibat handling kateter yang buruk. Mukosa yang terinfeksi menjadi tebal dan kadang hiperemis. Penyebaran lewat aliran darah dapat terjadi akibat invasi vaskuler oleh hifa atau pseudohifa, menghasilkan infeksi sistemik. (Jones, 1957)

     II.        Aspergillosis (Etiologi, Gejala Klinik, Pathogenesis, Cara Diagnosa, dan Terapi)

A.    Etiologi

Aspergilosis pada unggas terutama disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Organisme lain yang mungkin ditemukan sebagai penyebab aspergilosis adalah A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A. amstelodami dan A. nigrescens. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus tidak memiliki stadium seksual sehinga digolongkan pada famili Moniliaceae. (Tabbu, 2000). A. fumigatus merupakan penyebab infeksi terbanyak dimana > 90% menyebabkan invansif dan non-invansif Aspergillosis. A. flavus menyebabkan invansif Aspergillosis sebanyak 10% sedangkan A. niger dan A. terreus sebanyak 2%. Penularan aspergilosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Organisme itu dapat juga tumbuh di antara kerabang dan bagian luar selaput telur, sehingga anak ayam yang menetas dari telur tersebut berisiko terkena Aspergillosis. (Tabbu, 2000)

B.     Gejala Klinik

Masa inkubasi Aspergillosis sekitar 4-10 hari dan proses penyakit dapat berlangsung sekitar 2 sampai beberapa minggu. Ada 2 bentuk :

1.      Bentuk Akut
Gejala yang terlihat meliputi dyspnoea, bernapa melalui mulut dengan leher dijulurkan ke atas, peningkatan frekuensi pernapasan, kehilangan nafsu makan, mengantuk dan pada kejadian yang jarang terlihat adanya paralisi dan kejang akibat toksin yang telah mencapai otak. Jika aspergillosis diikuti chronic respiratory disease, infectious bronchitis, infectious laryngotracheitis, maka akan terdengar suara ngorok yang basah, jika gangguan pernapasan hanya disebabkan Aspergillosis maka tidak akan terdengar suara ngorok yang terlihat hanya kesulitan bernapas yang kering. Bentuk ensefalitik sering ditemukan pada kalkun. Ayam terinfeksi berat biasanya mati dalam 2 – 4 minggu. Mortalitas biasanya sekitar 5% - 20% tetapi kadang dapat mencapai 50%. (Tabbu, 2000)

2.      Bentuk Kronis

Gejala yang terlihat adalah hilangnya nafsu makan, lesu, bernapas dengan mulut, emasiasi, sianosis, dan dapat berlanjut dengan kematian. Dapat ditemui gangguan saraf pusat. Lamanya proses tergantung pada umur dan daya tahan tubuh ayam, proses dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan. Mortalitas kurang dari 5%. (Tabbu, 2000)

C.     Pathogenesis

Konidia Aspergillus terhirup, karena ukurannya yang sangat kecil dan mudah terbawa angin. Konidia masuk ke dalam rongga hidung yang didalamnya terdapat mukosillia. Mukosilia tidak dapat menyaring konidia, karena ukura konidia yang kecil dan tahan terhadap suhu tinggi.. Konidia terus masuk ke dalam saluran pernafasan, dan mencapai distal alveolar serta melakukan perlekatan untuk merusak epithelium. Konidia bertambah besar ukurannya di alveoli dan mulai untuk germinasi. Cairan seperti lektin berperan dalam menangkap konidia pada paru - paru, yang kemudian difagosit oleh makrofag alveolar. Makrofag alveolar juga berperan dalam memblok germinasi Aspergillus. Namun, konidia memiliki pertahanan dalam melawan makrofag, antara lain sebagai berikut :
a)         Aspergillus mengandung melanin sebagai pembungkus conidiospora sehingga tidak dapat difagosit oleh sel makrofag alveolar.
b)         SOD di lapisan luar untuk melindungi conidiospora agar tidak rusak.
c)         Aspergillus menghasilkan enzim elaktase dan fosfolifase yang membuat jaringan paru – paru menjadi nekrosis.
d)        Apergillus fumigatus menghasilkan metabolit sekunder antara lain penicillin, mikotoxin, dan hypha fragment. Mikotoksin antara lain : fumigaclavins, fumagilin, fumigatin, fumitoxins, fumitremorgin A & C, gliotoxin, spinulosin, tryptoquivalins, verrucologen. Dan gliotoxin berperan menurunkan fungsi makrofag dan neutrofil.
Hifa menyebar ke seluruh parenkim paru – paru dan pembuluh darah sehingga menimbulkan hemorrhage dan nekrosis. Adanya nekrosis memicu datangnya neutrofil yang berusaha untuk memblok hifa. Peristiwa ini dapat memicu supurasi. (Barness & Marr, 2006)

D.    Cara Diagnosa

Diagnosa didasarkan dari kombinasi gejala klinis, symptom, culture, histopatologi, dan deteksi komponen fungi seperti antigen galactomannan. Mengamati perubahan secara patologis dan patohistologis. Contoh: Pemeriksaan histopatologik menimbulkan bahwa C. immitis tumbuh pada jaringan inang akan membentuk sel raksasa, berdinding tebal dan berisi banyak endospora. Selain pada jaringan, sel raksasa ini juga dapat ditemukan pada lesio purulenta, dan sumsum tulang belakang. Gambaran ini dapat disimpan untuk kepentingan diagnostika. (Pramono, 1988)
Diagnosa Laboratorik :
a)         Penggunaan Wood’s light (UV terfilter) untuk pemeriksaan lesi di ruang gelap. Fungi seperti genus Microsporum, mampu berflouresence di bawah sinar UV.
b)         Identifikasi fungi dengan metode kerok kulit, rambut dan kuku terinfeksi (Quinn, 2002)
c)         Pemeriksaan histologik atas bagian kulit yang mengalami radang minimal akan menunjukkan hiperkeratosis yang bersifat moderat dari epidernis folikel, adanya akantosis serta reaksi radang perifolikuler yang bersifat minimal serta infiltrasi sel–sel mononuklear. Bagian –bagian jamur selau ditemukan apabila sedian diwarnai dengan pewarnaan asam peryodat Schiff (PAS) atau perak methenamin. Selain yang disebutkan, ditemukan ulserasi epidermis yang diisi oleh keropeng–keropeng hasil peradangan. Dinding folikel rambut yang terserang akan berisikan sel–sel PMN dan mononuklear, limfosit, plasma sel dan histiosit. Pada bagian yang mengalami peradangan intensif, fragmen jamur tidak akan dapat dijumpai. (Jones, 1957)

E.     Terapi

Amphotericin dan itraconazole adalah standar treatment untuk Aspergillosis. Voriconazole diketahui lebih efektif dibandingkan amphotericin B, karena pasien memiliki ketahanan yang lebih baik dan sedikit efek toksik. Echinocandins menghambat sintesis dinding sel beta-glucan. Terdapat bukti bahwa terapi ganda untuk Aspergillosis dengan echinocandins lebih baik dibandingkan single terapi, contoh lain adalah gabungan pemakaian caspofungin dan voriconazole untuk pasien yang menderita gagal ginjal. Lama terapi untuk Aspergillosis belum diketahui. Pada praktiknya pasien ditreatment hingga imunosuppresionnya berkurang, biasanya selama beberapa bulan tergantung kondisi pasien. Penggunaan dari granulcyte macrophage colony-stimulating factor dapat meningkatkan jumlah neutrofil dan membantu membersihka Aspergilus sp. Operasi pada beberapa kasus immunosupresi merupakan pilihan yang berisiko tinggi. Pada sedikit pasien, operasi merupakan pilihan terapi, yang telah ditingkatkan teknik operasi yang invansive. Resection dari lesi terisolasi tampaknya penting pada pasien yang memiliki lesi dekat pembuluh darah besar. (Barnes & Marr, 2006)

    III.       Respon Imun Terhadap Aspergillosis

Respon imun seluler merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi jamur. Mediator utama sistem imun melawan jamur adalah makrofag dan neutrofil. Dari sistem imun, sel TCD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk menghilangkan jamur. Dari subset TCD4+, respon sel Th1 merupakan respon protektif, karena sel Th1 berperan mengaktifkan makrofag, sedangkan respon Th2 merugikan pejamu karena menghambat (downregulation) aktivitas makrofag, untuk mencegah reaksi berlebihan yang dapat berakibat kerusakan sel. CD8+  berperan mensekresikan IFN-γ yang diperlukan untuk mengaktifkan makrofag. Tidak heran bahwa inflamasi granulomatosa sering merupakan penyebab kerusakan jaringan pejamu yang terinfeksi jamur intraseluler. (Kresno, 2010)
Infeksi kulit dapat membatasi diri dan biasanya sembuh dengan menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya. Resistensi berasal dari reaksi hipersensitivitas tipe IV yang ditunjukan penderita terhadap jamur bersangkutan. Selain itu, resistensi juga dapat disebabkan oleh sel T yang memproduksi limfokin untuk mengaktifkan makrofag mengahancurkan jamur bersangkutan. Kulit dan paru – paru mempunyai mekanisme pertahanan fagositik. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan konidia Aspergillus sp. sedangkan PMN leukosit dan monosit dapat merusak hifa Aspergillus sp. melalui mekanisme oxidative dan non oxidative. Makrofag dan neutrofil merupakan mekanisme pertahanan paru – paru terhadap Aspergillus sp. Keratin dan barrier epidermis kulit juga merupakan mekanisme pertahanan terhadap Aspergillus sp. (Kresno, 2010)

  
DAFTAR PUSTAKA

Barnes,  Penelope D., Kieren A. Marr. 2006. Aspergillosis : Spectrum of Disease, Diagnosis, and Treatment. Infectious isease Clinics of North America Vol. 20 : 545 – 561.
Jones, Thomas C., Ronald D.H., Norval W.K. 1957. Veterinary Pathology. Philadelphia : Lea & Febiger.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I . Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tabbu, Charles Rangga. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 1. Yogyakarta : Kanisius
Quinn,P. 2002. Veterinary Microbilogy and Microbial Disease. Dubli : Blacwell Science.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar