Jumat, 27 Maret 2015

Respon Imun Pada Infeksi Bakterial Dan Viral

    
   I.          Respon Imun Humoral dan Seluler Infeksi Bakteri terhadap Infeksi Bakteri

(Playfair & Chain, 2001)

Lini pertahanan pertama tubuh terhadap mikroba diperankan oleh mekanisme barrier pada permukaan tubuh misalnya kulit dan permukaan epitel. Respon pada bagian tubuh ini termasuk respon imun bawaan atau non spesifik. Selain barrier, respon ini juga mencakup sekresi substansi – substansi seperti asam lemak yang diproduksi oleh kulit yang bersifat toksik untuk sebagian besar mikroba, lisozim dalam saliva, air mata dan secret hidung, IgA, aktivitas fagosit dan komplemen, serta aktivitas flora normal yang memproduksi asam laktat dan protein antimikroba (colisin). (Kresno, 2010)
Lini pertahanan kedua diawali dengan pengenalan komponen mikroba oleh sistem imun. Mekanisme pertahanan sistemik terhadap mikroorganisme digolongkan dalam respon imun seluler dan humoral. Respon mana yang lebih berperan bergantung pada jenis mikroorganisme penyebab infeksi. Jika mikroba dapat masuk ke dalam jaringan, maka pertama ia akan dilawan oleh komponen sistem imun bawaan atau non spesifik yang didominasi aktivitas fagosit polimorfonuclear (PMN) dan sel – sel mononuclear (monosit-makrofag). (Kresno, 2010)

A.       Respon Imun Pada Infeksi Mikroorganisme Ekstraseluler

1.      Respon Non Spesifik

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dipengaruhi oleh struktur dan patogenitas bakteri. Berdasarkan struktur dinding sel, bakteri dibagi menjadi bakteri gram positif, dan gram negative. Lapisan luar bakteri gram negative yang terdiri atas lipid merupakan komponen penting karena biasanya peka terhadap mekanisme lisis oleh komplemen dan sel sitotoksik. Bakteri gram negative umumnya dapat dibunuh langsung oleh sel NK dengan cara melisiskan membran sel bakteri, sedangkan sel T sitotoksik akan merusak membran sel yang terinfeksi bakteri intraseluler sehingga bakteri keluar dan dapat dihancurkan. (Kresno, 2010)
Bakteri gram positif mengandung peptidoglikan dalam dinding selnya yang mengaktifkan jalur alternative komplemen dengan pembentukan C3 konvertase. Lipopolisakarida pada dinding bakteri gram negative mengaktifkan jalur alternative tanpa kehadiran antibody, yang juga langsung menghasilkan C3 konvertase. C3 konvertase merombak C3 menjadi C3a dan C3b. C3b mengaktivasi fagositosis yang terdiri dari :

  

 (Burmester & Antonio, 2003)


a)         Fase Pergerakan : C3a dan C5a menyebabkan inisiasi khemotaksis (sel PMN yang dominan dalam sirkulasi menuju ke lokasi infeksi). Selain dari komplemen, faktor khemotatik juga dapat berasal dari  bakteri, neutrofil atau makrofag.
b)         Fase Perlekatan : Setelah tiba di lokasi infeksi, PMN melakukan adhesi pada endotel atau jaringan lain maupun dinding mikroba. Kemampuan adhesi PMN bertambah karena sinyal tersebut juga merangsang ekspresi reseptor FC maupun reseptor komplemen pada permukaan sel.
c)         Fase Penelanan : Fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantung yang mengelilingi bakteri dan mengurungnya, bentukan ini disebut fagosom.
d)        Fase Pembunuhan : Fagosom berfusi dengan lisosom disebut fagolisosom. Enzim – enzim aktif dalam lisosom seperti lisozym menghancurkan mikroorganisme. (Kresno, 2010)

2.      Respon Spesifik




  
      (Playfair & Chain, 2001)

Mikroba ditangkap oleh makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai APC yang menyajikan antigen mikroba kepada sel T-helper. Atas pengenalan itu sel T-helper merangsang sel B untuk memproduksi antibody spesifik terhaap mikroba bersangkutan. Antibodi berfungsi menetralisir toksin. Antibodi dapat mengikat toksin sedemikian rupa sehingga toksin tidak dapat bereaksi dengan substrat. Dengan terikatnya toksin oleh antibody, maka terbentuklah kompleks yang dapat dihancurkan oleh fagosit.  (Kresno, 2010)

B.        Respon Imun Pada Infeksi Mikroorganisme Intraseluller


(Playfair & Chain, 2001)

Bakteri intraseluler fakultatif dapat hidup bahkan berkembang biak dalam fagosit. Beberapa jenis bakteri dapat hidup dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag setelah difagositosis. Karena mikroba menemukan tempat bersembunyi hingga tidak terjangkau oleh antibody dalam sirkulasi maka untuk menyingkirkannya memerlukan mekanisme yang berbeda. Dalam melawan bakteri intraseluler ada 2 jenis reaksi yang terjadi yaitu : (Kresno, 2010)
a)         Pembunuhan bakteri intraselular yang difagositosis oleh makrofag teraktivasi. Awalnya bakteri intraseluler mengaktifkan sel NK dengan cara menginduksi ekspresi ligan pengaktif sel NK ada permukaan sel terinfeksi atau stimulasi sel dendritik dan produksi IL-12 oleh makrofag yang merupakan sitokin pengaktif makrofag yang kuat. Sel NK memproduksi IFN-γ yang pada gilirannya mengaktifkan makrofag dan meningkatkan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri yang telah difagosit. (Kresno, 2010)
b)         Lisis sel yag terinfeksi oleh sel T CD8+. Protein bakteri intraseluler dapat merangsang sel T CD4+ (melalui kompleks antigen-MHC kelas II) maupun CD8+ (melalui kompleks antigen-MHC kelas I). Bakteri intraseluler menginduksi perkembangan sel T menjadi fenotip sel Th1, karena bakteri ini merangsang produksi IL-12 oleh makrofag dan produksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk memproduksi ROI (respiratory oxidative) dan enzim – enzim yang dapat membunuh bakteri. IFN-γ juga merangsang produksi isotop antibody misalnya IgG2 yang mengaktifkan komplemen dan opsonisasi bakteri, sehingga meningkatkan fungsi makrofag. Selain itu, Th1 memproduksi limfotoksin dan TNF yang menginduksi inflamasi lokal. Jika bakteri tetap hidup dalam sel dan melepaskan antigennya ke sitoplasma, ia merangsang Tc (CD8+) yang melisiskan sel terinfeksi melalui perforin dan granzim. (Kresno, 2010)
Jika mikroorganisme tersebut masih belum dapat dibunuh secara efektif, terjadi respon imun seluler kronik berupa penimbunan makrofag yang berada di sekitar mikroorganisme, disusul proses granulasi, dan fibrosis yang berakhir dengan pembentukan granuloma yang disebabkan oleh diproduksi TNF-α oleh makrofag dan IFN-γ  oleh sel T. Sitokin TNF-α meningkatkan pembentukan dinding fibrotic yang membungkus bakteri dan berkontribusi pada kerusakan jaringan bakteri. (Kresno, 2010)


     II.        Definisi Vaksin dan Penggolongannya



Vaksin adalah sediaan farmasi yang mengandung zat antigenic yang mampu menimbulkan kekebalah aktif dan spesifik. Vaksin dapat dibuat dari bakteri riketsia, atau virus. Vaksin dapat berupa suspense mikroorganisme hidup atau inaktif, faksi mikroorganisme, atau toksoid. Vaksin dibuat dengan cara melemahkan atau menginaktifkan virus atau dengan menyeleksi mutan avirulen. Selain itu, vaksin dapat dibuat dengan rekayasa genetika, rekayasa protein, maupun sintetik. Suatu vaksin memenuhi syarat jika aman digunakan dan efektif memberikan imunitas untuk tubuh. Vaksin digolongkan menjadi :

a)         Vaksin Dari Mikroorganisme Hidup


Vaksin  yang dipakai umumnya merupakan mutan yang kurang virulen yang didapat dengan cara melakukan perbanyakan virus atau mikroorganisme berulang – ulang. Virus ditumbuhkan pada sel inang yang berbeda dari sel inang normal atau dengan cara mengembang-biakkan virus tersebut pada suhu non fisiologis. Mutan yang mampu berkembang biak lebih baik dibanding virus tipe liar (wild type) pada kondisi selektif tersebut akan meningkat selama replikasi virus. Jika mutan tersebut diisolasi, dimurnikan, dan diuji patogenisitas pada model yang tepat, beberapa tipe mutan dapat memiliki sifat patogen yang lebih rendah dibandingkan induknya. Mutant tersebut merupakan kandidat yang baik sebagai vaksin karena mereka tidak lagi berkembang dengan baik pada inang alaminya tetapi memiliki kemampuan bereplikasi yang cukup tinggi sehingga dapat menstimulasi respons imun, tetapi tidak menimbulkan penyakit.
Untuk menunjukan hilangnya virulensi, virus atau mikroorganisme diujikan pada hewan percobaan. Walaupun efektif, terdapat masalah terhadap vaksin hidup, yaitu ketidakstabilan genetik, kemungkinan kontaminasi virus berbahaya, interferensi virus liar, dan labilitas terhadap panas. Contoh vaksin yang dilemahkan (attenuated vaccine) : vaksin BCG, vaksin sabin (polio), vaksin campak, vaksin rubella. (Harmita & Radji, 2006)

b)         Vaksin Dari Mikroorganisme yang Dimatikan

Pada metoda ini, virus yang secara alami bersifat pathogen diproduksi dalam jumlah besar dan diinaktifkan dengan menggunakan bahan kimia atau prosedur fisik yang dirancang untuk menghilangkan sifat infektif dari virus tanpa kehilangan sifat antigenisitasnya (yaitu kemampuan untuk memicu respons imun yang diinginkan). Teknik yang umum digunakan adalah dengan cara perlakuan dengan formalin atau beta propriolactine atau ekstraksi dari partikel envelope virus dengan detergen nonionik seperti Triton X-100. Beberapa masalah pada vaksin jenis ini ialah jumlah antigen yang diberikan harus cukup banyak sehingga menimbulkan kesulitan dalam proses pembuatan vaksin, serta cara pemberian vaksin yang sistemik sehingga tidak menimbulkan kekebalan lokal. Contoh vaksin virus inaktif : vaksin influenza, poliovirus (salk vaccine), rabies , vaksin untuk hewan. (Harmita & Radji, 2006)

c)         Vaksin Subunit




Vaksin yang diformulasikan hanya dengan beberapa komponen yang dimurnikan dari virus (tanpa memasukkan seluruh bagian virus) disebut dengan vaksin subunit. Komponen virus yang diambil adalah protein virus yang dikenali oleh antibodi. Pada banyak kasus, protein yang digunakan adalah protein struktural virus, khususnya protein yang ditemukan pada permukaan virion, yang merupakan target utama dari respons imun. Keuntungan dari vaksin subunit :
1)         Hanya genom virus yang digunakan dalam sistem ini, maka tidak ada kemungkinan kontaminasi dari virus terhadap vaksin yang dihasilkan.
2)         Protein virus dapat diproduksi dengan biaya terjangkau dalam jumlah besar dengan rekayasa organisme pada kondisi yang mempermudah pemurnian dan kontrol kualitas. Sebagai contoh, masalah dengan alergi telur setelah vaksinasi dapat dieliminasi apabila protein NA dan HA pada virus influenza diproduksi pada E. coli atau ragi.
Contoh vaksin subunit : Herpes Simplex Virus. Bagian antigenik dari Herpes Simplex Virus adalah HSV viral envelope glycoprotein D. (Harmita & Radji, 2006)







DAFTAR PUSTAKA

Burmester, Gerd R., Antonio P. 2003. Color Atlas Of Immunology. Stuttgart : Georg Thieme Verlag.
Harmita, Maksum Radji. 2006. Buku Ajar Analisis Hayati. Jakarta : EGC.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Playfair, J.H.L., B.M. Chain. 2001. Immunology At A Glance. UK : Blackwell Publishing.Martini,
Pinchuk, G. 2004. Schaum’s Outline of Theory & Problems of Immunology. New York : The McGraw-Hill Companies.

Hormon Sistem Reproduksi Hewan Jantan


          I.       Mekanisme Hormon Sistem Reproduksi Hewan Jantan
(Rhoades, 2009)
                                Epitel benih dalam tubulus seminiferus berkembang melalui pembelahan sel menjadi spermatozoa. Sel benih yang membelah menjadi spermatozoa disebut spermatogonium. Spermatogonium terletak di atas membrane basal dari tubulus seminiferus. Jika membelah menjadi dua, maka salah satu tetap terletak di atas membrane basal sedangkan yang kedua berubah menjadi spermatosit I kemudian membelah lagi menjadi spermatosit II, berubah menjadi spermatid dan akhirnya menjadi spermatozoa muda. (Soebadi, 1987)




Hormon GnRH yang disekresi hypothalamus mengatur produksi gonadotropin pituitary, LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone). GnRH dilepaskan secara independent berritme setiap sekitar dua jam, mengakibatkan sekresi LH dan FSH. Denyut hormonal dinamis ini merupakan bagian dari variasi yang luas dari LH dan testosteron. LH terutama beraksi pada sel leydig untuk menstimulasi sintesis testosterone. Kendali regulasi dari sintesis androgen dimediasi oleh feedback testosterone dan estrogen pada hipotalamus dan hipofisis anterior. (Longo et al, 2011)
            FSH bekerja pada sel sertoli untuk mengatur spermatogenesis dan produksi sertoli seperti inhibin B yang bekerja secara selektif mensuppresi produksi FSH pada hipofisis anterior. Walaupun jalur regulasi sel leydig dan sertolli yang berbeda ini, fungsi testis terintegrasi dalam berbagai tingkat : GnRH mengatur kedua gonadotropin (LH dan FSH); spermatogenesis membutuhkan kadar testosterone yang tinggi. Beberapa interaksi parakrin antara sel leydig dan sertolli penting untuk fungsi testis yang normal. (Longo et al, 2011)



A.       Testosteron
      Diproduksi pada testis jantan. Hormon ini berfungsi mengontrol perkembangan dan fungsi gonad jantan serta perkembangan seks sekunder. (Nelson, 2004). Selain itu juga, berfungsi merangsang pendewasaan spermatozoa yang terbentuk dalam tubuli seminiferi, merangsang pertumbuhan kelanjar acessori. (Soebadi, 1987)

B.        FSH (Follicle-Stimulating Hormone)
Karena mengandung asam amino dan karbohidrat maka FSH termasuk hormon protein. FSH berfungsi merangsang pembesaran testes karena terjadi perkembangbiakan spermatozoa dalam tubuli seminferi. (Soebadi, 1987)

C.        LH (Luteinizing Hormone) 
Fungsi LH adalah merangsang sel –sel interstisial dalam testes, seperti sel leydig. Sel leydig dirangsang untuk memproduksi androgen. Tingginya kadar testosterone (androgen) dalam tubuh menyebabkan terjadinya pendewasaan spermatozoa. (Soebadi, 1987)

D.       GnRh (Gonadotropin Releasing Hormone)
GnRh adalah hormon peptida yang dihasilkan oleh hipotalamus. Berfungsi untuk merangsang hipofisis atau pituitary bagian anterior untuk mengeluarkan FSH dan LH. Di hipotalamus, pengeluaran GnRH diatur oleh nukleus arkuata. Neuron pada nukleus arkuata memiliki kemampuan untuk memproduksi dan melepas gelombang GnRH ke hipofisis. (Nelson, 2004)

E.        Estrogen
Hormon ini dihasilkan oleh sel-sel sertoli, hormone ini berfungsi untuk pematangan sperma. (Soebadi, 1987)








DAFTAR PUSTAKA


Almeida, S.A., Kempinas, W.G. and Carvalho, L.T.L. 2000. Sexual behavior and Fertility of Male Rats Submitted to Prolonged Immobilization-Induced Stress. Braz J Med Biol Res, Vol. 33(9): 1105-1109.

Aughey, E., Frye, F.L. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. Spain: Manson Publishing.
Bagley, Clell V., C. Kim Chapman. 2005. Breeding Soundness Evaluation of Bulls. AH/Beef/2005-01.
Banerjee, G. C. 1982. A Textbook of Animal Husbandry. New Delhi : Oxford & IBH Publishing Co.
Gartner, Leslie P, James L.H. 2007. Color Textbook  Of  Histology. Philadelphia : Saunders Elsevier.
Jainudeen, M. R. and E.S.E. Hafez. 1980. Cattle and buffalo. In: Reproduction in Farm Animals. Philadelphia : Lea and Febiger.
Longo, Dan, Anthony F, Dennis K, Stephen H, Jameson J, Joseph L. 2011 .Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition. UK : McGraw Hill Professional.
Nainggolan, O. Simanjuntak, J.W. 2005. Pengaruh Ekstrak Etanol Akar 17 Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) terhadap Perilaku Seksual Mencit Putih. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 146 : 55-57.
Mozes,R.T. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa.
Nelson, David L, Michael M.C. 2004. Lehninger Principles Of Biochemistry. New York : W. H. Freeman.
Partodiharjo, Soebadi. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: P .T. Angkasa.