I.
Respon Imun Humoral dan
Seluler Infeksi Bakteri terhadap Infeksi Bakteri
(Playfair & Chain,
2001)
Lini pertahanan pertama tubuh
terhadap mikroba diperankan oleh mekanisme barrier pada permukaan tubuh
misalnya kulit dan permukaan epitel. Respon pada bagian tubuh ini termasuk
respon imun bawaan atau non spesifik. Selain barrier, respon ini juga mencakup sekresi
substansi – substansi seperti asam lemak yang diproduksi oleh kulit yang
bersifat toksik untuk sebagian besar mikroba, lisozim dalam saliva, air mata
dan secret hidung, IgA, aktivitas fagosit dan komplemen, serta aktivitas flora
normal yang memproduksi asam laktat dan protein antimikroba (colisin). (Kresno,
2010)
Lini pertahanan kedua diawali
dengan pengenalan komponen mikroba oleh sistem imun. Mekanisme pertahanan
sistemik terhadap mikroorganisme digolongkan dalam respon imun seluler dan
humoral. Respon mana yang lebih berperan bergantung pada jenis mikroorganisme
penyebab infeksi. Jika mikroba dapat masuk ke dalam jaringan, maka pertama ia
akan dilawan oleh komponen sistem imun bawaan atau non spesifik yang didominasi
aktivitas fagosit polimorfonuclear (PMN) dan sel – sel mononuclear
(monosit-makrofag). (Kresno, 2010)
A. Respon
Imun Pada Infeksi Mikroorganisme Ekstraseluler
1. Respon
Non Spesifik
Mekanisme pertahanan tubuh terhadap
infeksi bakteri dipengaruhi oleh struktur dan patogenitas bakteri. Berdasarkan
struktur dinding sel, bakteri dibagi menjadi bakteri gram positif, dan gram
negative. Lapisan luar bakteri gram negative yang terdiri atas lipid merupakan
komponen penting karena biasanya peka terhadap mekanisme lisis oleh komplemen
dan sel sitotoksik. Bakteri gram negative umumnya dapat dibunuh langsung oleh
sel NK dengan cara melisiskan membran sel bakteri, sedangkan sel T sitotoksik
akan merusak membran sel yang terinfeksi bakteri intraseluler sehingga bakteri
keluar dan dapat dihancurkan. (Kresno, 2010)
(Burmester
& Antonio, 2003)
a)
Fase Pergerakan : C3a
dan C5a menyebabkan inisiasi khemotaksis (sel PMN yang dominan dalam sirkulasi
menuju ke lokasi infeksi). Selain dari komplemen, faktor khemotatik juga dapat
berasal dari bakteri, neutrofil atau
makrofag.
b)
Fase Perlekatan : Setelah
tiba di lokasi infeksi, PMN melakukan adhesi pada endotel atau jaringan lain
maupun dinding mikroba. Kemampuan adhesi PMN bertambah karena sinyal tersebut
juga merangsang ekspresi reseptor FC maupun reseptor komplemen pada permukaan
sel.
c)
Fase Penelanan :
Fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantung yang
mengelilingi bakteri dan mengurungnya, bentukan ini disebut fagosom.
d)
Fase Pembunuhan :
Fagosom berfusi dengan lisosom disebut fagolisosom. Enzim – enzim aktif dalam
lisosom seperti lisozym menghancurkan mikroorganisme. (Kresno, 2010)
2. Respon
Spesifik
(Playfair & Chain, 2001)
Mikroba ditangkap oleh makrofag
atau monosit yang berfungsi sebagai APC yang menyajikan antigen mikroba kepada
sel T-helper. Atas pengenalan itu sel T-helper merangsang sel B untuk
memproduksi antibody spesifik terhaap mikroba bersangkutan. Antibodi berfungsi
menetralisir toksin. Antibodi dapat mengikat toksin sedemikian rupa sehingga
toksin tidak dapat bereaksi dengan substrat. Dengan terikatnya toksin oleh
antibody, maka terbentuklah kompleks yang dapat dihancurkan oleh fagosit. (Kresno, 2010)
B.
Respon Imun Pada
Infeksi Mikroorganisme Intraseluller
Bakteri intraseluler fakultatif
dapat hidup bahkan berkembang biak dalam fagosit. Beberapa jenis bakteri dapat
hidup dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag setelah difagositosis.
Karena mikroba menemukan tempat bersembunyi hingga tidak terjangkau oleh
antibody dalam sirkulasi maka untuk menyingkirkannya memerlukan mekanisme yang
berbeda. Dalam melawan bakteri intraseluler ada 2 jenis reaksi yang terjadi
yaitu : (Kresno, 2010)
a)
Pembunuhan bakteri
intraselular yang difagositosis oleh makrofag teraktivasi. Awalnya bakteri
intraseluler mengaktifkan sel NK dengan cara menginduksi ekspresi ligan
pengaktif sel NK ada permukaan sel terinfeksi atau stimulasi sel dendritik dan
produksi IL-12 oleh makrofag yang merupakan sitokin pengaktif makrofag yang
kuat. Sel NK memproduksi IFN-γ yang pada gilirannya mengaktifkan makrofag dan
meningkatkan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri yang telah difagosit. (Kresno,
2010)
b)
Lisis sel yag terinfeksi
oleh sel T CD8+. Protein bakteri intraseluler dapat merangsang sel T
CD4+ (melalui kompleks antigen-MHC kelas II) maupun CD8+ (melalui
kompleks antigen-MHC kelas I). Bakteri intraseluler menginduksi perkembangan
sel T menjadi fenotip sel Th1, karena bakteri ini merangsang produksi IL-12
oleh makrofag dan produksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk memproduksi
ROI (respiratory oxidative) dan enzim – enzim yang dapat membunuh bakteri.
IFN-γ juga merangsang produksi isotop antibody misalnya IgG2 yang mengaktifkan
komplemen dan opsonisasi bakteri, sehingga meningkatkan fungsi makrofag. Selain
itu, Th1 memproduksi limfotoksin dan TNF yang menginduksi inflamasi lokal. Jika
bakteri tetap hidup dalam sel dan melepaskan antigennya ke sitoplasma, ia merangsang
Tc (CD8+) yang melisiskan sel terinfeksi melalui perforin dan
granzim. (Kresno, 2010)
Jika mikroorganisme tersebut masih belum dapat
dibunuh secara efektif, terjadi respon imun seluler kronik berupa penimbunan
makrofag yang berada di sekitar mikroorganisme, disusul proses granulasi, dan
fibrosis yang berakhir dengan pembentukan granuloma yang disebabkan oleh
diproduksi TNF-α oleh makrofag dan IFN-γ
oleh sel T. Sitokin TNF-α meningkatkan pembentukan dinding fibrotic yang
membungkus bakteri dan berkontribusi pada kerusakan jaringan bakteri. (Kresno,
2010)
II.
Definisi Vaksin dan
Penggolongannya
Vaksin adalah sediaan farmasi yang
mengandung zat antigenic yang mampu menimbulkan kekebalah aktif dan spesifik.
Vaksin dapat dibuat dari bakteri riketsia, atau virus. Vaksin dapat berupa
suspense mikroorganisme hidup atau inaktif, faksi mikroorganisme, atau toksoid.
Vaksin dibuat dengan cara melemahkan atau menginaktifkan virus atau dengan
menyeleksi mutan avirulen. Selain itu, vaksin dapat dibuat dengan rekayasa
genetika, rekayasa protein, maupun sintetik. Suatu vaksin memenuhi syarat jika
aman digunakan dan efektif memberikan imunitas untuk tubuh. Vaksin digolongkan
menjadi :
a)
Vaksin Dari
Mikroorganisme Hidup
Vaksin yang dipakai umumnya merupakan mutan yang
kurang virulen yang didapat dengan cara melakukan perbanyakan virus atau
mikroorganisme berulang – ulang. Virus ditumbuhkan pada sel inang yang berbeda
dari sel inang normal atau dengan cara mengembang-biakkan virus tersebut pada
suhu non fisiologis. Mutan yang mampu berkembang biak lebih baik dibanding
virus tipe liar (wild type) pada kondisi selektif tersebut akan meningkat
selama replikasi virus. Jika mutan tersebut diisolasi, dimurnikan, dan diuji
patogenisitas pada model yang tepat, beberapa tipe mutan dapat memiliki sifat
patogen yang lebih rendah dibandingkan induknya. Mutant tersebut merupakan
kandidat yang baik sebagai vaksin karena mereka tidak lagi berkembang dengan
baik pada inang alaminya tetapi memiliki kemampuan bereplikasi yang cukup tinggi
sehingga dapat menstimulasi respons imun, tetapi tidak menimbulkan penyakit.
Untuk menunjukan hilangnya
virulensi, virus atau mikroorganisme diujikan pada hewan percobaan. Walaupun
efektif, terdapat masalah terhadap vaksin hidup, yaitu ketidakstabilan genetik,
kemungkinan kontaminasi virus berbahaya, interferensi virus liar, dan labilitas
terhadap panas. Contoh vaksin yang dilemahkan (attenuated vaccine) : vaksin
BCG, vaksin sabin (polio), vaksin campak, vaksin rubella. (Harmita & Radji,
2006)
b)
Vaksin Dari
Mikroorganisme yang Dimatikan
Pada metoda ini, virus yang secara
alami bersifat pathogen diproduksi dalam jumlah besar dan diinaktifkan dengan menggunakan
bahan kimia atau prosedur fisik yang dirancang untuk menghilangkan sifat
infektif dari virus tanpa kehilangan sifat antigenisitasnya (yaitu kemampuan
untuk memicu respons imun yang diinginkan). Teknik yang umum digunakan adalah
dengan cara perlakuan dengan formalin atau beta propriolactine atau ekstraksi
dari partikel envelope virus dengan detergen nonionik seperti Triton X-100. Beberapa
masalah pada vaksin jenis ini ialah jumlah antigen yang diberikan harus cukup
banyak sehingga menimbulkan kesulitan dalam proses pembuatan vaksin, serta cara
pemberian vaksin yang sistemik sehingga tidak menimbulkan kekebalan lokal. Contoh
vaksin virus inaktif : vaksin influenza, poliovirus (salk vaccine), rabies ,
vaksin untuk hewan. (Harmita & Radji, 2006)
c)
Vaksin Subunit
Vaksin
yang diformulasikan hanya dengan beberapa komponen yang dimurnikan dari virus (tanpa
memasukkan seluruh bagian virus) disebut dengan vaksin subunit. Komponen virus
yang diambil adalah protein virus yang dikenali oleh antibodi. Pada banyak
kasus, protein yang digunakan adalah protein struktural virus, khususnya
protein yang ditemukan pada permukaan virion, yang merupakan target utama dari
respons imun. Keuntungan dari vaksin
subunit :
1)
Hanya genom virus yang
digunakan dalam sistem ini, maka tidak ada kemungkinan kontaminasi dari virus
terhadap vaksin yang dihasilkan.
2)
Protein virus dapat diproduksi
dengan biaya terjangkau dalam jumlah besar dengan rekayasa organisme pada
kondisi yang mempermudah pemurnian dan kontrol kualitas. Sebagai contoh,
masalah dengan alergi telur setelah vaksinasi dapat dieliminasi apabila protein
NA dan HA pada virus influenza diproduksi pada E. coli atau ragi.
Contoh
vaksin subunit : Herpes Simplex Virus. Bagian antigenik dari Herpes Simplex
Virus adalah HSV viral envelope glycoprotein D. (Harmita & Radji, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Burmester,
Gerd R., Antonio P. 2003. Color Atlas Of
Immunology. Stuttgart : Georg Thieme Verlag.
Harmita,
Maksum Radji. 2006. Buku Ajar Analisis
Hayati. Jakarta : EGC.
Kresno,
Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis
dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Playfair, J.H.L., B.M. Chain. 2001. Immunology At A Glance. UK : Blackwell
Publishing.Martini,
Pinchuk, G. 2004. Schaum’s Outline of Theory & Problems of
Immunology. New York : The
McGraw-Hill Companies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar